Monday, August 19, 2019
MAKALAH PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DAN PENGELUARAN NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 di disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Dari pengertian tersebut berarti bahwa pemerintah pusat mempunyai berbagai hak, yang salah satu hak pemerintah pusat adalah menggali sumber-sumber penerimaan bagi negara untuk membiayai berbagai belanja/pengeluaran negara yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Wujud pendapatan negara (government revenue) berupa uang (cash) sebagai penerimaan negara, yang menurut pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 diberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.06/2006 tanggal 19 Oktober 2006 tentang Modul Penerimaan Negara, Penerimaan Negara terdiri dari Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Penerimaan Hibah, Penerimaan Pengembalian Belanja, Penerimaan Pembiayaan, dan Penerimaan Perhitungan Pihak Ketiga. Dalam makalah ini akan menjurus pada pembahasan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak atau yang sering disebut PNBP.
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah. Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi diperlukan pengeluaran negara yang besar untuk investasi pemerintah, utamanya untuk menyediakan infrastruktur seperti sarana jalan, kesehatan, pendidikan, dan lain lain. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi tetap diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi, namun diharapkan investasi sektor swasta sudah mulai berkembang. Pada tahap lanjut pembangunan ekonomi, pengeluaran pemerintah tetap diperlukan, utamanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya peningkatan pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian penerimaan negara bukan pajak?
2. Apa saja jenis-jenis penerimaan negara bukan pajak?
3. Bagaimana permasalahan penerimaan negara bukan pajak?
4. Apa potensi penerimaan negara bukan pajak yang sudah tergali dan belum tergali?
5. Apa yang dimaksud dengan belanja K/L?
6. Apa yang dimaksud dengan belanja non K/L?
7. Apa yang dimaksud dengan transfer ke daerah?
8. Apa yang dimaksud dengan dana desa?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penerimaan negara bukan pajak.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis penerimaan negara bukan pajak.
3. Untuk mengetahui permasalahan penerimaan negara bukan pajak.
4. Untuk mengetahui potensi penerimaan negara bukan pajak yang sudah tergali dan belum tergali.
5. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan belanja K/L.
6. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan belanja non K/L.
7. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan transfer ke daerah.
8. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan dana desa.
BAB II
PEMBAHASAN
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
A. Pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak
Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang, terdapat banyak bentuk penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan. Penerimaan perpajakan meliputi penerimaan yang berasal dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Masuk, Cukai, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan lainnya yang diatur dengan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan. Selain itu, penerimaan negara yang berasal dari minyak dan gas bumi, yang di dalamnya terkandung unsur pajak dan royalti, diperlakukan sebagai penerimaan perpajakan, mengingat unsur pajak lebih dominan. Dengan demikian pengertian, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
mencakup segala penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan tersebut. Dalam Pasal 1 butir 1 UU Nomor 20 Tahun 1997, definisi Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
Jadi, Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan lingkup keuangan negara yang dikelola dan dipertanggungjawabkan sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga audit yang bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas komponen yang mempengaruhi pendapatan negara dan merupakan penerimaan negara sesuai dengan undang-undang. Laporan hasil pemeriksaan BPK kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
B. Jenis-jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional di segala bidang,
terdapat banyak bentuk penerimaan negara di luar penerimaan perpajakan. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Pasal 2 ayat (1) mengelompokkan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagai berikut:
a. Penerimaan yang bersumber dari Pengelolaan Dana Pemerintah yang terdiri dari:
• Penerimaan Jasa Giro;
• Penerimaan Sisa Anggaran Pembangunan (SIAP) dan
• Sisa Anggaran Rutin (SIAR);
b. Penerimaan dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam, yang terdiri dari:
• Royalti di bidang Perikanan;
• Royalti di bidang Kehutanan;
• Royalti di bidang Pertambangan, kecuali Minyak dan Gas Bumi (MIGAS) karena sudah diatur oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Yang dimaksud dengan royalti adalah pembayaran yang diterima oleh negara sehubungan dengan pemberian izin atau fasilitas tertentu dari negara kepada pihak lain untuk memanfaatkan atau mengolah kekayaan negara. Misalnya, royalti di bidang kehutanan.
c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, yang terdiri dari:
• Bagian laba pemerintah;
• Hasil penjualan saham pemerintah;
• Deviden
d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah, yang terdiri dari:
• Pelayanan pendidikan;
• Pelayanan kesehatan;
• Pemeberian hak paten, hak cipta dan hak merk;
• Pemberian visa dan paspor, termasuk paspor haji.
e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan, yang berasal dari:
• Lelang barang;
• Denda;
• Hasil rampasan yang diperoleh dari hasil kejahatan.
f. Penerimaan berupa hibah baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang merupakan hak Pemerintah;
g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.
Ketujuh jenis penerimaan di atas merupakan Objek dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang merupakan penerimaan dari departemen dan lembaga negara yang bersifat insidentil dan pada umumnya belum diatur dalam undang-undang atau Peraturan Daerah (PERDA).
Sistem pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditetapkan oleh Instansi Pemerintah dan Dihitung sendiri oleh wajib pajak (wajib bayar). Yang ditetapkan oleh pemerintah adalah Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang menjadi terutang sebelum wajib bayar menerima manfaat atas kegiatan pemerintah, seperti: pemberian hak paten dan pelayanan pendidikan, maka penetuan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan yang dihitung sendiri oleh wajib bayar, dalam hal ini Penerimaan Negara Bukan Pajak menjadi teutang setelah menerima manfaat, seperti pemanfaatan sumber daya alam.
Pengaturan selanjutnya, kecuali jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang ditetapkan dengan undang-undang, jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Demikian juga dengan jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang belum tercakup dalam kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sebagai pelaksanaan ketentuan mengenai penetapan jenis dan penyetoran
Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk pertama kalinya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak ke Kas Negara. Penetapan PP Nomor 22 Tahun 1997 merupakan langkah penertiban, sesuai dengan tujuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, sehingga jenis dan besarnya pungutan yang menjadi sumber penerimaan tersebut tidak malahan
menambah beban bagi masyarakat dan pembangunan itu sendiri.
Dalam PP Nomor 22 Tahun 1997, jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak
dibedakan menjadi dua, yaitu jenis-jenis PNBP yang berlaku umum dan jenis-jenis PNBP yang berlaku khusus pada suatu kementerian negara/lembaga (bersifat
fungsional). Jenis-jenis PNBP yang berlaku umum pada semua kementerian negara/lembaga meliputi:
a. Penerimaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan sisa anggaran pembangunan)
b. Penerimaan hasil penjualan barang/kekayaan negara.
c. Penerimaan hasil penyewaan barang/kekayaan negara.
d. Penerimaan hasil penyimpanan uang negara (jasa giro).
e. Penerimaan ganti rugi atas kerugian negara (tuntutan ganti rugi dan tuntutan perbendaharaan).
f. Penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah.
g. Penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang.
Adapun jenis-jenis PNBP yang bersifat fungsional hanya terdapat pada
kementerian negara/lembaga tertentu sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, sehingga jenis-jenis PNBP antara kementerian negara/lembaga yang satu dengan
yang lain berbeda-beda. Seiring dengan semakin beragamnya jenis pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat maupun dalam rangka mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak guna menunjang pembangunan nasional, jenis-jenis penerimaan negara bukan pajak juga semakin bertambah. Misalnya, pelayanan pertanahan yang dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional telah beberapa kali mengalami perubahan.
Dalam Lampiran IIB angka (10) PP Nomor 22 Tahun 1997, jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional
adalah sebagai berikut:
a. Penerimaan dari pengukuran dan pemetaan.
b. Penerimaan dari pemeriksaan tanah.
c. Penerimaan dari konsolidasi tanah secara swadaya.
d. Penerimaan dari redistribusi tanah secara swadaya.
e. Penerimaan dari izin lokasi.
Pada tahun 2002 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002, sehingga Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional adalah penerimaan dari kegiatan:
a. Pelayanan Pendaftaran Tanah, meliputi:
1) Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah, terdiri dari:
a) Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Secara Sporadik,
b) Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah Secara Sistematik,
c) Pelayanan Pengembalian Batas, dan
d) Pelayanan Pembuatan Peta Situasi Lengkap (Topografi).
2) Pelayanan Pendaftaran Tanah untuk Pertama Kali.
3) Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah.
b. Pelayanan Pemeriksaan Tanah, terdiri dari:
1) Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A, terdiri dari:
a) Pelayanan Pemeriksaan Tanah di Perkotaan,
b) Pelayanan Pemeriksaan Tanah di Perdesaan, dan
c) Pelayanan Pemeriksaan Tanah Secara Massal.
2) Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B, terdiri dari:
a) Pelayanan Pemeriksaan Tanah Secara Sporadis,
b) Pelayanan Pemeriksaan Tanah Secara Massal, dan
c) Pelayanan Survey Pemetaan Penatagunaan Tanah.
3) Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah, terdiri dari:
a) Pelayanan Pemeriksaan Tanah di Perkotaan,
b) Pelayanan Pemeriksaan Tanah di Perdesaan, dan
c) Pelayanan Pemeriksaan Tanah Secara Massal.
4) Pelayanan Pemeriksaan Tanah dalam Bentuk Laporan Konstatasi, meliputi:
a) Pelayanan Pemeriksaan Tanah dalam Bentuk Laporan Konstatasi untuk Perpanjangan atau Pembaharuan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, dan
b) Pelayanan Pemeriksaan Tanah dalam Bentuk Laporan Konstatasi untuk Perpanjangan atau Pembaharuan Hak Guna Usaha.
c. Pelayanan Informasi Pertanahan.
d. Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya.
e. Pelayanan Redistribusi Tanah Secara Swadaya.
f. Penyelenggaraan Pendidikan Program Diploma I Pengukuran dan Pemetaan Kadastral.
g. Pelayanan Penetapan Hak atas Tanah, terdiri dari:
1) Uang Pemasukan Dalam Rangka Pemberian Hak Milik
2) Uang Pemasukan Dalam Rangka Pemberian Hak Guna Usaha;
3) Uang Pemasukan Dalam Rangka Pemberian Hak Guna Bangunan;
4) Uang Pemasukan Dalam Rangka Pemberian Hak Pakai;
5) Uang Pemasukan Dalam Rangka Pemberian Hak Pengelolaan.
Pada tahun 2010, Pemerintah kembali mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010, Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional adalah penerimaan dari kegiatan:
a. Pelayanan Survei, Pengukuran, dan Pemetaan, terdiri dari:
1) Pelayanan Survei, Pengukuran Batas Kawasan atau Batas Wilayah, dan Pemetaan;
2) Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah dalam rangka Penetapan Batas, yaitu adalah seluruh jenis kegiatan pengukuran dan pemetaan di lingkungan Badan Pertanahan Nasional dalam rangka penerbitan sertifikat hak atas tanah atau kegiatan pertanahan lainnya, meliputi:
a) Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah;
b) Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Bidang Tanah Secara Massal;
c) Pelayanan Pengembalian Batas; dan
d) Pelayanan Legalisasi Gambar Ukur Surveyor Berlisensi.
3) Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan Batas Ruang Atas Tanah, Ruang Bawah Tanah, atau Ruang Perairan, yaitu seluruh jenis kegiatan pengukuran dalam rangka penetapan batas ruang atas tanah, atau ruang bawah tanah untuk penerbitan sertifikatnya atau kegiatan pertanahan lainnya. Pengukuran dan Pemetaan ini dilaksanakan secara 3 (tiga) dimensi, dengan perhitungan panjang, lebar, dan tinggi berupa ruang dengan menggunakan metode, teknologi, waktu, penyimpanan data, dan penyajian yang lebih khusus.
b. Pelayanan Pemeriksaan Tanah, meliputi:
1) Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia A. Yang dimaksud dengan “Panitia A” adalah panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian, dan pengkajian data fisik dan data yuridis di lapangan dan di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara, Hak Pengelolaan, dan permohonan pengakuan hak atas tanah.
2) Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B.
Yang dimaksud dengan “Panitia B” adalah Panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksaan, penelitian, dan pengkajian data fisik dan data yuridis di lapangan maupun di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian, perpanjangan, dan pembaruan Hak Guna Usaha.
3) Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah.
Yang dimaksud dengan “Tim Peneliti Tanah” adalah tim yang bertugas
melaksanakan pemeriksaan, penelitian dan pengkajian data fisik dan data yuridis di lapangan dan di kantor dalam rangka penyelesaian permohonan pemberian hak atas tanah instansi pemerintah dan pemerintah daerah.
4) Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Petugas Konstatasi.
Yang dimaksud dengan “Petugas Konstatasi” adalah petugas (Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk) yang melaksanakan pemeriksaan data fisik dan data yuridis di lapangan dan di kantor dalam rangka pemberian Hak Atas Tanah yang berasal dari tanah yang sudah pernah terdaftar dan perpanjangan serta pembaruan Hak Atas Tanah kecuali Hak Guna Usaha.
c. Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya.
Yang dimaksud dengan “Konsolidasi Tanah” adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah serta usaha penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumberdaya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Pelayanan ini meliputi:
1) Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya Pertanian;
2) Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya Nonpertania
d. Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan.
Yang dimaksud dengan “Pertimbangan Teknis Pertanahan” adalah ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai dasar dalam penerbitan izin lokasi, penetapan lokasi, dan izin perubahan penggunaan tanah. Pelayanan ini, meliputi:
1) Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Izin Lokasi,
2) Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Penetapan Lokasi, dan
3) Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Izin Perubahan Penggunaan Tanah.
e. Pelayanan Pendaftaran Tanah, meliputi:
1) Pelayanan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali, yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar.
2) Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan yang terjadi kemudian.
f. Pelayanan Informasi Pertanahan.
g. Pelayanan Lisensi.
h. Pelayanan Pendidikan.
i. Pelayanan Penetapan Tanah Objek Penguasaan Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB)/Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Nomor 5/Prk/1965.
j. Pelayanan di Bidang Pertanahan yang Berasal dari Kerja Sama dengan Pihak Lain
C. Permasalahan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) merupakan lingkup, keuangan negara yang dikelola dan dipertanggung jawabkan, sehingga Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga auditor eksternal yang bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas komponen yang memengaruhi pendapatan negara dan merupakan penerimaan negara sesuai dengan undang-undang. Dibalik itu semua terdapat pula permasalahan-permasalahan pada PNBP ini, seperti:
1. K/L menyampaikan target PNBP kurang realistis
2. Dari segi perencaan, penyusunan target PNBP saat ini melalui proses pembahasan yang membutuhkan biaya dan waktu yang cukup besar.
3. Dari segi penetapan jenis dan tarif, proses penetapan jenis dan tarif PHPB dalam PP membutuhkan waktu yang lama sehingga menyebabkan beberapa K/L melakukan pemungutan tanpa dasar hukum.
4. Dari segi penyetoran, masih terdapat beberapa K/L yang terlambat melakukan penyetoran ke kas negara, sesuai dengan PP No 39 Tahun 2007 tentang pengelolaan uang negara atau daerah, penyetoran wajib dilakukan dalam satu hari kerja.
5. Dari segi pelaporan, masih terdapat beberapa K/L yang tidak tertib dalam menyampaikan laporan realisasi PNBP triwulan. Hal ini disebabkan beban satuan kerja untuk menyampaikan laporan yang cukup banyak kepada kementrian keuangan.
6. Dari segi penggunaan, PNPB hanya dapat digunakan oleh satker penghasil PNPB. Sementara itu, satker lainnya yang turut menunjang dalam menghasilkan PNPB, tidak memperoleh alokasi dana dari PNBP
7. Penggunaan langsung tanpa melalui mekanisme APBN.
Setelah munculnya permsalahan-permasalahan tersebut maka, solusi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Membangun database PNPB guna menyusun perencanaan PNBP yang lebih akuntabel.
2. Mengembangkan penyusunan target PNBP secara online.
3. Melakukan Kajian untuk penetapan jenis PNBP tertentu dalam peraturan yang lebih rendah dari PP
4. Mendelegasikan persetujuan perubahan tarif kepada pimpinan instansi yang selanjutnya dikukuhkan menjadi PP
5. Memudahkan sistem penyetoran, misalnya dengan sistem online dan menunjuk Bank tertentu sebagai Bank persepsi pada beberapa lokasi.
6. Membangun sistem modul dan pelaporan penerimaan negara untuk PNBP.
7. Penggunaan langsung tanpa melalui mekanisme APBN dan mempercepat mekanisme pencairan dana yang berasal dari penerimanaan PNBP melalui APBN.
D. Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Sudah Tergali dan Belum Tergali
Dalam APBN kita, selama ini kita mengenal 4 kategori besar PNBP, yaitu penerimaan sumber daya alam, pendapatan bagian laba BUMN, PNBP lainnya dan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU). Tidak berbeda jauh dengan pengelolaan perpajakan, pengelolaan PNBP juga belum dikelola secara optimal sehingga kontribusinya terhadap anggaran negara juga kurang maksimal. Hal itu terbukti dari peningkatan PNBP dari tahun 2005 sampai dengan sekarang yang cenderung sangat tidak signifikan. Sebenarnya ada beberapa jenis penerimaan yang bisa dioptimalkan oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. PNBP yang paling potensial untuk digali dengan lebih maksimal adalah penerimaan dari sektor pertambangan. Akhir-akhir ini, banyak pihak yang mengungkapkan bahwa ada potensial lost dari pengelolaan pertambangan di Indonesia.
Contohnya, berdasarkan kajian dari KPK, ditemukan bahwa dari sektor minerba saja, terdapat triliunan hak negara dari penerimaan royalti dan iuran tetap yang sampai saat ini belum masuk ke kas negara dan berpotensi hilang. Selain itu, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan kabinet kerja, potensi penerimaan negara dari sektor perikanan juga sangat belum tergarap secara optimal. Beliau mengungkapkan bahwa permasalahan penting dalam pengelolaaan PNBP dari sektor kelautan dan perikanan adalah tarif PNBP yang sangat kecil dan juga maraknya kegiatan illegal fishing. PNBP yang juga potensial untuk mendukung peningkatan penerimaan negara adalah pendapatan jasa. Meskipun belum ada kajian secara akademis mengenai potensi penerimaan dari jenis pendapatan jasa tersebut, tetapi terdapat beberapa sektor di pendapatan jasa ini yang cukup bersifat komersial dan bisa lebih diintensifkan, misalnya pendapatan hak dan perizinan serta pendapatan jasa bandar udara, kepelabuhan dan kenavigasian.
Secara nominal PNBP meningkat tiap tahunnya, namun kontribusi pendapatan Negara bukan pajak (PNBP) terhadap penerimaan Negara masih relative kecil dan menurun sejak 2011. pada 2011 kontribusi PNBP sebesar 27,5%, sedangkan pada 2014 23,6% dan diperidiksi menurun menjadi 15,27 pada 2015. Penerimaan Negara lewat sector PNBP selama ini kurang efektif dan efisien karena terdapat banyak kelemahan yang beum terselesaikan. seperti birokrasi, tumpang tindih peraturan, dan lain-lain. Belum optimalnya pengelolaan tersebut menyebabkan kontribusi PNBP terhadap total pendapatan Negara tidak terlalu signifikan.
Potensi PNBP Sumber Daya Alam (SDA)
1. PNBP Migas
PNBP Migas merupakan penyumbang terbesar PNBP SDA untuk realisasi tahun 2013 sebesar 89% dari total PNBP SDA. penerimaan migas pada APBN tahun 2015 diperkirakan mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu sebesar Rp130,3 triliun dari APBN 2014. saat ini, kecenderungan peningkatan PNBP Migas lebih disebabkan oleh peningkatan harga minyak dan bukan oleh peningkatan hasil lifting minyak bumi. kenaikan 1% jumlah ekspor minyak karena kenaikan produksi dalam negeri 1% menyebabkan 15,5% kenaikan PNBP potensi kerugian Negara berdasarkan pemeriksaan kepatuhan tahun 2012 yang dilakukan BPK hingga Rp.1,35 triliun. dalam LPH semester II 2014 BPK menemukan potensi kekurangan penerimaan Negara sebesar Rp 6,19 triliun yang salah satunya berasal dari pembebanan biaya-biaya yang tidak semestinya dibebankan ke dalam cost recovery hal ini disebabkan oleh kelemahan dalam melakukan tata kelola kegiatan hulu migas.
2. PNBP Pertambangan (Mineral dan Batubara
Kontrubusi PNBP Pertambangan masih belum optimal, untuk PNBP pertambangan sendiri menyumbang sebesar Rp18.6 triliun (5,25%) dari PNBP keseluruhan sebesar Rp354,5 triliun. sementara PNBP terbesar disumbang oleh PNBP migas sebesar Rp203,6 triliun (57,43%) pada tahun 2013. Sumbangan PNBP mineral dan batubara tergolong kecil, hanya sekitar 8,2% dari total penerimaan PNBP sumber Daya Alam dalam APBN 2013 (pada tahun-tahun sebelumnya, proporsi ini lebih kecil lagi). potensi kehilangan penerimaan Negara dari batubara antara tahun 2010 sampai 2012 total sebesar USD1,2 milyar (atau rata-rata Rp4,5 triliun tiap tahun). adapun potensi kerugian atau kehilangan penerimaan Negara dari royalty mineral lain (nikel, bijih besi/pasir besi, timbal, bauksit dan mangan) adalah sebesar USD24,6 juta pada tahun 2011 atau setara dengan Rp271,3 milyar. Permasalahan PNBP Minerba berasal dari (1) tata laksana PNBP yang mencakup penetapan jenis dan tariff, penghitungan kewajiban, penagihan, penyetoran, pengelolaan dan alokasi; (2) Regulasi termasuk tidak sinkronnya substansi aturan UU tentang PNBP dengan aturan perundang-undangan yang lain; (3) Organisasi dan SDM (4) Hilangnya potensi PNBP dari tidak dilaksanakannya kewajiban PNBP.
3. PNBP Kehutanan
Berdasarkan data Badan Statistik (BPS) tahun 2012 sumbangan formal sector kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tidak lebih dari kisaran 1% atau USD 1,8 milyar per tahunnya selama dasawarsa terakhir. Kontribusi sector kehutanan yang kecil terhadap PDB tidak sebanding dengan potensi dari luas kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 136,88 juta ha. Kontribusi PNBP Kehutanan terbesar berasal dari Dana Reboisasi/DR dan Provisi Sumber Daya Hutan/PSDH (masing-masing sebesar 56% dan 27%, pada tahun 2011). realisasi penerimaan dari dua objek PNBP ini tidak mencerminkan potensinya. sebagai contoh, realisasi PNBP dari PSDH hanya separuh (51% rata-rata tertimbang) dari potensi penerimaan Negara dari lemahnya pengawasan dalam pengelolaan hutan sebesar Rp15,9 triliun per tahun.
4. PNBP Perikanan
Hasil produksi perikanan tangkap Indonesia cenderung meningkat. bahkan, pada tahun 2013, peningkatan PDB perikanan dapat mengungguli pertumbuhan PDB pertanian dan PDB Nasional. Namun, dengan hasil tangkapan dan PDB perikanan yang tergolong tinggi sector perikanan Indonesia pada kenyataannya hanya menyumbang penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sebesar 0,2% dari total PNBP tahun 2012. Terdapat inefficiency loss yang tinggi dari PNBP perikanan yang menyebabkan potensi kerugian terhadap Negara sebesar 386% dari total PNBP perikanan di tahun 2011. Pemerintah pun hanya memberi target pada kisaran Rp 150-200 miliar per tahun untuk PNBP sector perikanan pada tahun 2009-2013. Pada 2011, dengan nilai perikanan tangkap Rp70,03 triliun, hanya 0,26% dana yang disumbangkan ke APBN. dan dengan nilai tangkap perikanan Rp101.32 triliun hanya 0,22% yang di kontribusikan pada APBN 2013. Setidaknya terdapat potensi peningkatan PNBP sebesar 25 Triliun pertahun yang belum termanfaatkan dari sumberdaya ikan dan non sumberdaya ikan.
5. PNBP Pertambangan Panas Bumi
Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energy panas bumi Indonesia mencapai 27.140,5 MW. dari potensi yang ada, hingga tahun 2006 baru termanfaatkan sekitar 3% atau 807 MW saja. Melihat besarnya potensi panas bumi yang masih sangat besar tersebut akan menjadi peluang baru sebagai sumber alternative energy baru sekaligus sebagai potensi sumber penerimaan PNBP mengingat kontribusi PNBP panas bumi ditahun 2013 hanya sebesar 0,38% dari total PNBP SDA.
Jika dilihat dari potensi PNBP SDA, targer sasaran APBN untuk PNBP khususnya SDA dapat tercapai bahkan target dan sasaran tersebut dirasa cukup rendah. jika saja pemerintah mampu mengatasi kelemahan dan permasalahan dalam pengelolaan tersebut, kontribusi PNBP terhadap penerimaan Negara dapat ditingkatkan lagi. oleh karena itu strategi dan arah kebijakan yang dibuat pemerintah saat ini harus mampu mengatasi kelemahan dan permasalahan dalam pengelolaan PNBP.
Untuk mengoptimalkan kontribusi PNBP terhadap penerimaan negara, maka diperlukan beberapa terobosan atau langkah strategis yang harus ditempuh oleh pemerintah saat ini. Langkah yang harus pertama kali diambil oleh pemerintah adalah melakukan penyempurnaan proses bisnis pengelolaan PNBP terutama mekanisme pemungutan, perhitungan, penyetoran dan sanksi dalam pengelolaan PNBP tersebut. Dengan begitu diharapkan PNBP yang dibayarkan oleh para wajib bayar bisa lebih akurat, transparan dan akuntabel.
Hal kedua yang juga perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengkaji ulang tarif dari PNBP terutama penerimaan dari kegiatan usaha yang profit oriented seperti di bidang pertambangan, perikanan ataupun perizinan lainnya. Hal tersebut sangat perlu dilakukan karena, apabila dibandingkan dengan besarnya profit yang diterima oleh para pelaku usaha, saat ini tarif PNBP dirasa masih kurang menguntungkan bagi negara. Selanjutnya, permasalahan dan harus secepatnya ditangani oleh pemerintah adalah banyaknya kegiatan ilegal dalam sektor usaha penyumbang PNBP seperti illegal mining dan illegal fisihing. Selain itu, pemerintah juga harus mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dan kerjasama antar lembaga dalam pengelolaan PNBP sehingga pengelolaannya bisa lebih cepat, tepat dan terpadu. Hal tersebut penting karena dalam mengelola satu macam PNBP saja, seringkali harus melibatkan banyak Kementerian/Lembaga.
Hal lain yang sangat dibutuhkan untuk optimalisasi PNBP adalah adanya satu kantor vertikal pemerintah pusat di daerah yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan, koordinasi dan menggali potensi PNBP di masing-masing daerah, misalnya dengan mengoptimalkan peran kantor vertikal Kementerian Keuangan di daerah. Dari sisi perundang-undangan, perlu adanya revisi UU PNBP sehingga pemanfaatan PNBP tidak lagi “earmarked” untuk Kementerian/Lembaga pemungutnya, sehingga pengalokasian PNBP bisa lebih dioptimalkan untuk membiayai belanja negara secara umum. Akan tetapi, sebagai bentuk reward, Kementerian/Lembaga pemungut tersebut diberikan semacam imbalan prestasi apabila target PNBP bisa tercapai. Terakhir, perlunya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran dalam pengelolaan PNBP, baik yang dilakukan oleh aparat pengelolanya ataupun wajib bayarnya.
PENGELUARAN NEGARA
E. Belanja K/L
Belanja K/L adalah instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). RKA-KL merupakan dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan suatu kementerian negara/lembaga yang merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya.
Isi dan susunan RKA-KL adalah sebagai berikut:
1. RKA-KL terdiri dari rencana kerja kementerian negara/lembaga dan anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut.
2. Di dalam Rencana Kerja diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan, kegiatan, dan keluaran yang diharapkan
3. Di dalam anggaran yang direncanakan, diuraikan biaya untuk masing-masing program dan kegiatan untuk tahun anggaran yang direncanakan yang dirinci menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan sasaran pendapatan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
4. RKA-KL meliputi seluruh kegiatan satuan kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga termasuk kegiatan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Pendekatan penyusunan RKA-KL juga mengacu pada pendekatan dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah, yaitu: kerangka pengeluaran jangka menengah, penganggaran terpadu dan penganggaran berbasis kinerja.
Proses Penyusunan Rka-Kl
RKA-KL memuat kebijakan, program, dan kegiatan yang dilengkapi sasaran kinerja dengan menggunakan pagu indikatif untuk tahun anggaran yang sedang disusun dan prakiraan maju untuk tahun anggaran berikutnya. Memperhatikan peranan RKA-KL sebagai dokumen anggaran, maka efektivitas dan efiensi pemanfaatan dana yang disediakan dalam RKA-KL sebagian besar ditentukan pada proses penyusunan RKA-KL yang bersangkutan. Proses penyusunan dokumen anggaran tersebut dilaksanakan melalui penelaahan bersama antara kementerian keuangan dan kementerian negara/lembaga teknis.
Hal yang harus diperhatikan dalam penyusunan RKA-KL adalah sebagai berikut:
1. Kementerian negara/lembaga menyusun RKA-KL untuk tahun anggaran yang sedang disusun mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif yang ditetapkan dalam surat edaran bersama menteri perencanaan pembangunan nasional dan menteri keuangan.
2. Kementerian perencanaan menelaah rencana kerja yang disampaikan kementerian negara/lembaga melalui koordinasi dengan kementerian keuangan.
3. Perubahan terhadap program kementerian negara/lembaga diusulkan oleh menteri/pimpinan lembaga terkait dan disetujui oleh kementerian perencanaan melalui koordinasi dengan kementerian keuangan.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan RKA-KL ditetapkan oleh menteri perencanaan.
Proses rinci penyusunan RKA-KL adalah sebagai berikut:
1. Menteri/pimpinan lembaga setelah menerima surat edaran menteri keuangan tentang pagu sementara bagi masing-masing program pada pertengahan bulan Juni, menyesuaikan Rencana Kerja Kementerian/Lembaga (Renja–KL) menjadi RKA-KL yang dirinci menurut unit organisasi dan kegiatan.
2. Kementerian negara/lembaga membahas RKA-KL tersebut bersama-sama dengan komisi terkait di DPR. Hasil pembahasan RKA-KL tersebut disampaikan kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan selambat-lambatnya pada pertengahan bulan Juli.
3. Kementerian Perencanaan menelaah kesesuaian antara RKA-KL hasil pembahasan bersama DPR dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP).
4. Kementerian Keuangan menelaah kesesuaian antara RKA-KL hasil pembahasan bersama DPR dengan surat edaran menteri keuangan tentang pagu sementara, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran sebelumnya dan standar biaya yang telah ditetapkan.
5. Menteri keuangan menghimpun semua RKA-KL yang telah ditelaah, selanjutnya dituangkan dalam Rancangan APBN dan dibuatkan Nota Keuangan untuk dibahas dalam sidang kabinet.
6. Nota Keuangan dan Rancangan APBN beserta himpunan RKA-KL yang telah dibahas disampaikan pemerintah kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Agustus untuk dibahas bersama dan ditetapkan menjadi Undang-Undang APBN selambatlambatnya pada akhir bulan Oktober.
7. RKA-KL yang telah disepakati DPR ditetapkan dalam keputusan presiden tentang rincian APBN selambat-lambatnya akhir bulan November.
8. Keputusan presiden tentang rincian APBN tersebut menjadi dasar bagi masing-masing kementerian negara/lembaga untuk menyusun konsep dokumen pelaksanaan anggaran.
9. Konsep dokumen pelaksanaan anggaran disampaikan kepada menteri keuangan selaku Bendahara Umum Negara selambatlambatnya minggu kedua bulan Desember.
10. Dokumen pelaksanaan anggaran disahkan oleh menteri keuangan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember.
Adapun penerima anggaran belanja kementerian/lembaga adalah lembaga-lembaga berikut, pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2017 yang Nota Keuangannya telah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Sidang Paripurna DPR RI, Selasa (16/8/2016) lalu, telah diuraikan besaran anggaran belanja negara sebesar Rp2.070,5 triliun, dengan rincian Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp1.310,4 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebesar Rp760,0 triliun.
Meski secara keseluruhan belanja K/L tahun RAPBN 2017 mengalami penurunan dibanding APBN-P 2016, namun masih terdapat 10 K/L yang memperoleh pagu anggaran terbesar pada ARAPBN pada RAPBN 2017. Ketujuh K/L yang memperoleh pagu anggaran terbesar pada RAPBN 2017 itu adalah:
1. Bangun Jembatan
Dalam Nota Keuangan RAPBN 2017, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang memperoleh pagu anggaran sebesar Rp105,565,1 triliun mendapat target membangun jalan sepanjang 815 km; jembatan sepanjang 9.399 m, pemeliharaan rutin jalan sepanjang 41.849 km; pemeliharaan preventif jalan sepanjang 1.538 km; dan rekonstruksi jalan sepanjang 949 km. Sasaran yang ingin dicapai dari pelaksanaan program tersebut adalah meningkatkan konektivitas dan kemantapan jalan nasional.
2. Kementerian Pertahanan
Kementerian Pertahanan mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp104,428,0 triliun pada RAPBN tahun 2017. Anggaran tersebut akan digunakan untuk program modernisasi Alutsista dan Non-Alutsista/Sarana dan Prasarana Matra Darat dengan indikator kinerja antara lain: (1) panser pengganti sarasen dan saladin sebanyak 24 unit; (2) meriam armed (M-109) sebanyak 20 unit; dan (3) pembangunan kesatrian di Kepulauan Natuna sebanyak 1 den Arhanud dan 1 batrai Armed.
3. Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kepolisian Negara RI direncanakan memperoleh anggaran sebesar Rp72.436,8 triliun pada RAPBN tahun 2017. Anggaran tersebut dialokasikan untuk program pemberdayaan potensi keamanan dengan indikator kinerja antara lain: (1) desa yang mendapatkan pelayanan Bhabinkamtibmas sebanyak 44.010 desa;(2) pembentukan dan pembinaan kelompok potensi masyarakat sebanyak 2.500 kelompok; dan (3) kegiatan dalam rangka pencegahan dan penegakan hukum pelanggaran terkait miras, Napza dan bahan berbahaya lainnya sebanyak 232.800 kegiatan.
4. Kementerian Agama
Kementerian Agama direncanakan memperoleh anggaran sebesar Rp60.734,1 triliun pada RAPBN tahun 2017. Anggaran tersebut digunakan untuk Program Pendidikan Islam dengan indikator kinerja antara lain: (1) jumlah penerima BOS sebanyak 3.672.852 siswa MI, 3.255.506 siswa MTs, dan 1.359.515 siswa MA/MAK;(2) jumlah penerima PIP sebanyak 528.527 siswa MI, 540.118 siswa MTs, dan 308.608 siswa MA/MAK; (3) mahasiswa PTKI penerima bidik misi sebanyak 24.096 mahasiswa.
5. Kementerian Perhubungan
Kementerian Perhubungan direncanakan memperoleh anggaran sebesar Rp48,732,2 triliun pada RAPBN tahun 2017. Anggaran tersebut digunakan untuk melaksanakan Program Pengelolaan dan Penyelenggaraan Transportasi Darat dengan indikator kinerja antara lain: (1) pembangunan terminal penumpang lanjutan di 3 lokasi; (2) pembangunan pelabuhan penyeberangan lanjutan di 20 lokasi; dan (3) pengadaan; dan pemasangan ATCS di 3 lokasi.
6. Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan direncanakan memperoleh anggaran sebesar Rp42,174,1 triliun pada RAPBN tahun 2017. Anggaran tersebut akan digunakan untuk Program Peningkatan dan Pengamanan Penerimaan Pajak dengan indikator kinerja antara lain: (1) persentase realisasi penerimaan pajak terhadap target sebesar 100 persen; (2) persentase tingkat kepatuhan formal wajib pajak sebanyak 75 persen; dan (3) tingkat kepuasan pengguna layanan DJP sebesar 73,22 (skala 100).
7. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan direncanakan memperoleh anggaran sebesar Rp39.823,1 triliun pada RAPBN tahun 2017. Anggaran tersebut akan digunakan untuk Program Pembelajaran dan Kemahasiswaan mempunyai indikator kinerja antara lain: (1) mahasiswa Penerima Bantuan Bidik Misi sebanyak 335.083 mahasiswa; (2) mahasiswa Penerima Beasiswa Afirmasi Dikti sebanyak 5.097 mahasiswa; (3) jumlah mahasiswa penerima beasiswa PPA sebanyak 120.000 orang; dan (4) bertambahnya 46 LPTK yang meningkat kapasitas kelembagaannya.
F. Belanja non-K/L
Lembaga Pemerintah Non-Kementerian merupakan lembaga negara yang dibentuk untuk membantu presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan tertentu. Lembaga Pemerintah Non-Kementerian berada di bawah presiden dan bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui menteri atau pejabat setingkat menteri yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sebagai konsekuensi amandemen UUD 1945, terdapat beberapa perubahan signifikan terhadap kewenangan lembaga-lembaga negara dalam struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia. Perubahan ini tidak hanya membutuhkan penyesuaian terhadap kewenangan setiap lembaga negara, yang ditentukan dalam UUD 1945, akan tetapi juga kewenangan lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh peraturan lain, seperti Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden atau Peraturan Presiden, juga perlu disesuaikan. Hal ini merupakan suatu keharusan sebagai konsekuensi hukum hirarki peraturan perundang-undangan. Salah satu prinsip dalam hirarki peraturan perundang-undangan menentukan bahwa peraturan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, jika bertentangan maka peraturan yang lebih rendah tidak berlaku. Hirarki peraturan perundang-undangan itu sendiri ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Melalui proses amandemen UUD 1945, Lembaga Kepresidenan ada salah satu lembaga negara yang mengalami banyak perubahan pada kewenangannya, seperti kekuasaan untuk menunjuk Duta Besar yang harus mendapat pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun demikian, kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagaimana diatribusikan oleh Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, tetap dipertahankan. Bahkan dengan proses rekruitmen lembaga kepresidenan yang baru: dipilih secara langsung, kedudukan konstitusional lembaga kepresidenan menjadi semakin kuat jika dibandingkan dengan kedudukan konstitusional yang dimiliki sebelumnya.
Dalam melaksanakan kewenangannya, presiden dibantu oleh seorang wakil presiden dan kementerian negara. Di samping wakil
presiden dan kementerian negara, presiden juga dapat dibantu oleh lembaga pemerintah yang lain, seperti Lembaga Pemerintah Non-Departemen (selanjutnya LPND), dalam melaksanakan kewenangannya. LPND didirikan dengan tujuan untuk melaksanakan tugas khusus yang didelegasikan kepadanya oleh presiden. Oleh karena itu, LPND terletak dalam lingkup kekuasaan eksekutif, yang dipimpin oleh presiden. Selain itu, pembentukan dan pembubarannya tergantung pada keinginan presiden; presiden dapat membentuk yang baru atau membubarkan yang lain semata-mata tergantung pada keinginannya saja.
Pada umumnya, pembentukan sebuah LPND dahulunya dilakukan dengan sebuah keputusan presiden tersendiri. Meskipun, sejak pemerintahan Megawati Soekarnoputri, pembentukan seluruh LPND dilakukan dengan sebuah keputusan presiden saja, seperti Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 (selanjutnya Keppres No.103 Tahun 2001). Selanjutnya, setelah pengundangan UU No.10 Tahun 2004 pada 24 Juni 2004, seluruh keputusan presiden yang bersifat mengatur harus dikategorikan dan harus berbentuk Peraturan Presiden4. Oleh karena itulah, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menggunakan peraturan presiden dalam melakukan perubahan terhadap Keppres No.103 Tahun 2001. Dengan menggunakan keputusan presiden atau peraturan presiden dalam pembentukan atau pembubaran sebuah LPND, presiden harus mendasarkan pembentukan peraturan presiden atau keputusan presiden itu pada perintah pembentukan, baik secara tegas maupun tidak, dari UUD 1945, undang-undang, atau peraturan pemerintah5. Alasan hukum mengapa peraturan presiden membutuhkan perintah pembentukannya karena peraturan presiden terletak di bawah UUD 1945, undang-undang, dan peraturan pemerintah dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu pembentukan peraturan presiden tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya.
Pada tanggal 13 September 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri membatalkan Keppres No.166 Tahun 2000 dan menggantikannya dengan Keppres No.103 Tahun 2001. Peraturan terakhir ini masih berlaku sampai sekarang meskipun telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan terakhir atas Keppres No.103 Tahun 2001 dilakukan oleh Peraturan Presiden No.11 Tahun 2005 tentang Perubahan Kelima Keppres No.103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Struktur Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. Berikut ini daftar Lembaga Pemerintah Non Kementrian yang ada di Indonesia, yaitu:
1. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), di bawah koordinasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;
2. Badan Informasi Geospasial (BIG);
3. Badan Intelijen Negara (BIN);
4. Badan Kepegawaian Negara (BKN), di bawah koordinasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;
5. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), di bawah koordinasi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak;
6. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
7. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), di bawah koordinasi Menteri Riset dan Teknologi;
8. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG);
9. Badan Narkotika Nasional (BNN);
10. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB);
11. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT);
12. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI);
13. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), di bawah koordinasi Menteri Kesehatan;
14. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), di bawah koordinasi Menteri Riset dan Teknologi;
15. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP);
16. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal), dibawah koordinasi Menteri Lingkungan Hidup;
17. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), di bawah koordinasi Menteri Riset dan Teknologi;
18. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
19. Badan Pertanahan Nasional (BPN), di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri;
20. Badan Pusat Statistik (BPS), di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
21. Badan SAR Nasional (Basarnas);
22. Badan Standardisasi Nasional (BSN), di bawah koordinasi Menteri Riset dan Teknologi;
23. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), di bawah koordinasi Menteri Riset dan Teknologi;
24. Badan Urusan Logistik (Bulog), di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian;
25. Lembaga Administrasi Negara (LAN), di bawah koordinasi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;
26. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di bawah koordinasi MenteriRiset dan Teknologi;
27. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas);
28. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP);
29. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), di bawah koordinasi Menteri Riset dan Teknologi;
30. Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan, Keamanan;
31. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas), di bawah koordinasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
G. Transfer ke Daerah
Transfer ke Daerah adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Transfer ke Daerah ditetapkan dalam APBN, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang selanjutnya dituangkan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku Kuasa Pengguna Anggaran atas nama Menteri Keuangan selaku Pengguna Anggaran untuk tiap jenis Transfer ke Daerah dengan dilampiri rincian alokasi perdaerah.
Dasar Hukum
a. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuanganantara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
b. PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; dan
c. PMK Nomor 04/PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan
d. Pertanggungjawaban Anggaran Transfer Ke Daerah.
Prinsip Umum
Transfer ke Daerah meliputi Transfer Dana Perimbangan dan Transfer Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian.
a. Transfer Dana Perimbangan meliputi:
1) Transfer Dana Bagi Hasil Pajak;
2) Transfer Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam;
3) Transfer Dana Alokasi Umum; dan
4) Transfer Dana Alokasi Khusus.
b. Transfer Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian meliputi:
1) Transfer Dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat;
2) Transfer Dana Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam; dan
3) Transfer Dana Penyesuaian
Pelaksanaan Anggaran Transfer Ke Daerah
Dalam rangka pelaksanaan anggaran Transfer ke Daerah, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) sebagai perintah pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Direktur Pengelolaan Kas Negara. Berdasarkan SPM sebagaimana dimaksud Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). Pemerintah Daerah menyampaikan konfirmasi tanda terima Transfer ke Daerah kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat lima hari kerja setelah Transfer Ke Daerah tersebut diterima.
Penyaluran Transfer Ke Daerah
Dalam rangka penyaluran Transfer ke Daerah, Bendahara Umum Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah membuka rekening pada Bank Sentral dan/atau Bank Umum dengan nama Rekening Kas Umum Daerah. Penyaluran Transfer ke Daerah dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
a. Penyaluran DBH PBB dan DBH BPHTB
1) Penyaluran DBH PBB dan DBH BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan PBB dan BPHTB tahun anggaran berjalan.
2) Penyaluran DBH PBB dan DBH BPTHB bagian daerah dilaksanakan secara mingguan.
3) Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten dan kota, dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu bulan April, bulan Agustus, dan bulan November tahun anggaran berjalan.
4) Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah yang dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan/kota dilaksanakan dalam bulan November tahun anggaran berjalan.
5) Penyaluran DBH BPTHB bagian pemerintah yang dialokasikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota, dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu bulan April, bulan Agustus, dan bulan November tahun anggaran berjalan.
6) Penyaluran Biaya Pemungutan PBB bagian daerah dilaksanakan secara bulanan.
b. Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan DBH PPh Pasal 21
1) Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan DBH PPh Pasal 21 dilaksanakan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 tahun anggaran berjalan.
2) Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan DBH PPh Pasal 21 bagian daerah dilaksanakan secara triwulanan, dengan rincian sebagai berikut: Penyaluran triwulan I sampai dengan triwulan III masing-masing sebesar 20% dari alokasi sementara dan Penyaluran triwulan IV didasarkan pada selisih antara pembagian definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan I sampai dengan triwulan III.
c. Penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Penyaluran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau diatur sesuai peraturan perundang-undangan.
d. Penyaluran DBH SDA
1) Penyaluran DBH SDA dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan sumber daya alam tahun anggaran berjalan secara triwulanan.
2) Penyaluran DBH SDA triwulan I dan triwulan II masing-masing dilaksanakan sebesar 20% dari pagu perkiraan alokasi.
3) Penyaluran triwulan III didasarkan pada selisih antara realisasi penerimaan DBH SDA sampai dengan triwulan III dengan realisasi penyaluran triwulan I dan triwulan II.
4) Penyaluran triwulan IV didasarkan pada selisih antara realisasi penerimaan DBH SDA sampai dengan triwulan IV dengan realisasi penyaluran triwulan I, triwulan II, dan triwulan III.
5) Penyaluran DBH SDA untuk triwulan III dan IV dilaksanakan berdasarkan perhitungan melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dengan daerah penghasil, kecuali DBH SDA Perikanan.
e. Penyaluran DAU
Penyaluran DAU dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 dari besaran alokasi masing-masing daerah.
f. Penyaluran DAK
1) Penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) dilaksanakan secara bertahap.
2) Tahap I sebesar 30% dari alokasi DAK, dilaksanakan setelah peraturan daerah mengenai APBD diterima oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, paling cepat dilaksanakan pada bulan Februari.
3) Tahap II sebesar 30% dari alokasi DAK, dilaksanakan selambatlambatnya 15 hari kerja setelah laporan penyerapan penggunaan DAK tahap I, diterima oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
4) Tahap III sebesar 30% dari alokasi DAK, dilaksanakan selambatlambatnya 15 hari kerja setelah laporan penyerapan penggunaan DAK tahap II, diterima oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
5) Tahap IV sebesar 10% dari alokasi DAK, dilaksanakan selambatlambatnya 15 hari kerja setelah laporan penyerapan penggunaan DAK tahap III, diterima oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
6) Penyaluran secara bertahap tersebut di atas tidak dapat dilaksanakan secara sekaligus.
7) Laporan penyerapan penggunaan DAK disampaikan setelah penggunaan DAK telah mencapai 90% dari penerimaan DAK sampai dengan tahap sebelumnya.
8) Laporan penyerapan penggunaan DAK tahap III diterima selambatlambatnya ada tanggal 15 Desember tahun berjalan.
9) Laporan disusun dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/PMK.07/2008.
10) Laporan wajib disertai dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor 04/PMK.07/2008.
g. Penyaluran Dana Otonomi Khusus Papua, Papua Barat dan Aceh
1) Penyaluran Dana Otonomi Khusus Papua, Papua Barat dan Aceh dilaksanakan secara bertahap.
2) Tahap I dilaksanakan pada bulan Maret sebesar 15% dari alokasi.
3) Tahap II dilaksanakan pada bulan Juni sebesar 30% dari alokasi.
4) Tahap III dilaksanakan pada bulan September sebesar 40% dari alokasi.
5) Tahap IV dilaksanakan pada bulan November sebesar 15% dari alokasi.
6) Penyaluran Dana Otonomi Khusus Papua, Papua Barat dan Aceh Tahap II, III, dan IV dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri.
h. Penyaluran Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat
Penyaluran Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dilaksanakan secara bertahap setelah Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mendapatkan surat hasil rekonsiliasi kegiatan antara departemen teknis bersama dengan Provinsi Papua dan Papua Barat yang disampaikan oleh departemen teknis, dengan rincian sebagai berikut:
1) Tahap I dilaksanakan pada bulan Maret sebesar 15% dari alokasi;
2) Tahap II dilaksanakan pada bulan Juni sebesar 30% dari alokasi;
3) Tahap III dilaksanakan pada bulan September sebesar 40% dari alokasi; dan
4) Tahap IV dilaksanakan pada bulan November sebesar 15% dari alokasi.
H. Dana Desa
Dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi yang ditransfer melalui APBD kabupaten dan kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan.
Dana desa adalah salah satu issu krusial dalam undang-undang desa, penghitungan anggaran berdasarkan jumlah desa dengan mempertimbangkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.
Karena issu yang begitu krusial, para senator menilai, penyelenggaraan pemerintahan desa membutuhkan pembinaan dan pengawasan, khususnya penyelenggaraan kegiatan desa. Anggaran Dana Desa atau ADD adalah bagian keuangan yang diperoleh dari Bagi Hasil Pajak dan bagian dari Dana Perimbangan Kuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh kabupaten. Sumber pendapatan desa tersebut secara keseluruhan digunakan untuk menandai seluruh kewenangan yang menjadi tanggungjawab desa. Dana tersebut digunakan untuk menandai penyelenggaraan kewenangan desa yang menacakup penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Dengan demikian, pendapatan yang bersumber dari APBN juga digunakan untuk menandai kewenangan tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai dengan kebutuhan dan prioritas desa. Hal itu berarti dana desa akan digunakan untuk menandai keseluruhan kewenangan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas dana desa tersebut namun, mengingat dana desa bersumber dari Belanja Pusat, untuk mengoptimalkan penggunaan dana desa, Pemerintah diberikan kewenangan untuk menetapkan prioritas penggunaan dana desa untuk mendukung program pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Penetapan prioritas penggunaan dana tersebut tetap sejalan dengan kewenangan yang menjadi tanggungjawab desa.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa pada Pasal 18 bahwa Anggaran Dana Desa berasal dari APBD Kabupaten/Kota yang bersumber dari bagian Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh persen). Anggaran Pendapatan dan Belanja bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa selanjutnya disingkat APBDES adalah Rencana Keuangan Tahunan Desa yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa yang
ditetapkan dengan Peraturan Desa dan Dana Alokasi Desa terdapat pada Bantuan Keuangan Pemerintah Kabupaten meliputi:
1. Tunjangan Penghasilan Aparatur Pemerintah Desa (TPAPD).
2. Anggaran Dana Desa.
3. Penyisihan pajak dan retribusi daerah.
4. Sumbangan bantuan lainnya dari Kabupaten.
Pembagian Anggaran Dana Desa (ADD) dapat dilihat berdasarkan Variabel Independen utama dan Variabel Independen tambahan dengan rincian sebagai berikut:
1. Asas Merata adalah besarnya bagian Anggaran Dana Desa (ADD) yang sama untuk di setiap atau yang disebut dengan Alokasi Dana Desa (ADD) minimal. Alokasi Dana Desa (ADD) Variabel Independen utama sebesar 70% dan Variabel Independen Tambahan 30%.
2. Asas Adil adalah besarnya bagian Alokasi Dana Desa (ADD) yang dibagi secara proporsional untuk di setiap berdasarkan Nilai Bobot Desa yang dihitung dengan rumus dan variabel tertentu atau Alokasi Dana Desa (ADD) Proporsional (ADDP), Variabel Proporsional Utama sebesar 60% dan Variabel Proporsional Tambahan sebesar 40%. Variabel Independen Utama adalah Variabel yang dinilai terpenting untuk menentukan nilai bobot desa. Variabel Utama ditujukan untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan dasar umum antar desa secara bertahap dan mengatasi kemiskinan strukturan masyarakat di desa. Variabel Independen Utama meliputi sebagai berikut:
a. Indikator kemiskinan.
b. Indikator Pendidikan Dasar.
c. Indikator Kesehatan.
d. Indikator Keterjangkauan Desa Variabel Tambahan merupakan Variabel yang dapat ditambahkan oleh masing-masing daerah yang meliputi sebagai berikut:
a. Indikator Jumlah Penduduk.
b. Indikator Luas Wilayah.
c. Indikator Potensi Ekonomi (PBB).
d. Indikator Jumlah Unit Komunitas (Dusun).
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Pasal 72 ayat (1) mengenai sumber pendapatan desa, dalam huruf d disebutkan “anggaran dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota". Selanjutnya dalam ayat (4) Pasal yang sama disebutkan "Anggaran Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus". Dalam masa transisi, sebelum dana desa mencapai 10% anggaran dana desa dipenuhi melalui realokasi dari Belanja Pusat dari desa “program yang berbasis desa”. Kementrian/lembaga mengajukan anggaran untuk program yang berbasis kepada menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional untuk ditetapkan sebagai sumber dana desa.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dirasakan menjadi angin segar bagi desa. Adanya undang-undang ini menjadi dasar hukum dari diakuinya desa sebagai suatu daerah otonomi sendiri. Dalam hubungannya dengan desentralisasi fiscal yang menjadi pokok dari berlakunya undang-undang tersebut yaitu terkait dengan 10% dana dari APBN untuk Desa diseluruh Indonesia, dimana setiap desa akan menerima dana kurang lebih besar 1 Milyar per tahun. Pembagian anggaran yang hampir seragam berkisar 1 Milyar padahal kapasitas pengelolaan pemerintah sangat beragam ( hal ini akan diantisipasi melalui aturan-aturan desentralisasi fiscal yang mengatur besarnya anggaran desa berdasarkan kebutuhan serta kemampuannya mengelola melalui peraturan pemerintah.
Dana desa dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat. Pemerintah menganggarkan Dana Desa secara nasional dalam APBN setiap tahun. Dana Desa sebagaimana bersumber dari belanja Pemerintah dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata dan berkeadilan. Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara ditransfer melalui APBD kabupaten/kota untuk selanjutnya ditransfer ke APBDesa. Dana Desa setiap kabupaten/kota dialokasikan berdasarkan perkalian antara jumlah di setiap kabupaten/kota dan rata-rata Dana Desa setiap provinsi. Rata-rata Dana Desa setiap provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan berdasarkan jumlah desa dalam provinsi yang bersangkutan serta jumlah penduduk kabupaten/kota, luas wilayah kabupaten/kota, angka kemiskinan kabupaten/kota, dan tingkat kesulitan geografis kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
Berdasarkan besaran Dana Desa setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara, bupati/walikota menetapkan besaran Dana Desa untuk setiap desa di wilayahnya.
Besaran Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Neagara, dihitung berdasarkan jumlah penduduk desa, luas wilayah desa, angka kemiskinan Desa, dan tingkat kesulitan geografis. Jumlah penduduk Desa, luas wilayah Desa, dan angka kemiskinan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung dengan bobot:
a. 30% (tiga puluh perseratus) untuk jumlah penduduk Desa;
b. 20% (dua puluh perseratus) untuk luas wilayah Desa; dan
c. 50% (lima puluh perseratus) untuk angka kemiskinan Desa.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan lingkup keuangan negara yang dikelola dan dipertanggungjawabkan sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga audit yang bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas komponen yang mempengaruhi pendapatan negara dan merupakan penerimaan negara sesuai dengan undang-undang.
Jenis-jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak terdiri dari: Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan; Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah; Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri.
Permasalahan-permasalahan dari Penerimaan Negara Bukan Pajak yaitu, K/L menyampaikan target PNBP kurang realistis; Penyusunan target PNBP melalui proses pembahasan yang membutuhkan biaya dan waktu yang cukup besar; Proses penetapan jenis dan tarif PHPB dalam PP membutuhkan waktu yang lama sehingga menyebabkan beberapa K/L melakukan pemungutan tanpa dasar hukum; Masih terdapat beberapa K/L yang terlambat melakukan penyetoran ke kas negara; Masih terdapat beberapa K/L yang tidak tertib dalam menyampaikan laporan realisasi PNBP triwulan; PNPB hanya dapat digunakan oleh satker penghasil PNPB. Sementara itu, satker lainnya yang turut menunjang dalam menghasilkan PNPB, tidak memperoleh alokasi dana dari PNBP; Penggunaan langsung tanpa melalui mekanisme APBN.
Untuk meningkatkan penerimaan negara. PNBP yang paling potensial untuk digali dengan lebih maksimal adalah penerimaan dari sektor pertambangan. Hal itu dapat di optimalkan dengan mengkontribusi PNBP terhadap penerimaan negara, maka diperlukan beberapa terobosan atau langkah strategis yang harus ditempuh oleh pemerintah saat ini. Langkah yang harus pertama kali diambil oleh pemerintah adalah melakukan penyempurnaan proses bisnis pengelolaan PNBP terutama mekanisme pemungutan, perhitungan, penyetoran dan sanksi dalam pengelolaan PNBP tersebut. Dengan begitu diharapkan PNBP yang dibayarkan oleh para wajib bayar bisa lebih akurat, transparan dan akuntabel.
Belanja K/L adalah instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Belanja non-K/L lembaga negara yang dibentuk untuk membantu presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan tertentu. Lembaga Pemerintah Non-Kementerian berada di bawah presiden dan bertanggung jawab langsung kepada presiden melalui menteri atau pejabat setingkat menteri yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Transfer ke Daerah adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian. Dana desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi yang ditransfer melalui APBD kabupaten dan kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan.
B. Saran
Menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna dalam penyusunan makalah ini, dalam hal ini kedepannya kami akan lebih detail lagi dalam menjelaskan permasalahan-permasalahan yang terdapat dalam pembahasan makalah diatas serta disertai dengan sumber-sumber yang banyak dan dapat dipercaya.
DAFTAR PUSTAKA
Apriliya Pregiwati, Lilly (2015) "Potensi PNBP Sektor Kelautan capal Rp25 triliun" http://kkp.go.id
Biro Analisa Anggaran dan pelaksanaan APBN-SETJEN DPR-RI
Bohari. 2012. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Departemen Kajian Strategis BEM FEB UM (2015), "Penyempurnaan Zonasi Kelautan dan Pengoptimalan Direktorat Jenderal Anggaran "Potensi Panas Bumi, Potensi PNBP) http://www.anggaran.depkeu.go.id
http://perencanaan.ipdn.ac.id/kajiangrahaIlmu-perencanaan/kajianperencanaan/penerimaannegarabukanpajak
http://setkab.go.id/inilah-10-kl-penerima-anggaran-terbesar-pada-rapbn-2017/
http://www.bpkp.go.id/berita/read/5780/895/Wakil-MentriKeuanganPenerimaanNegara-dari-Sektor-PNBP-Akan-Terus-Ditingkatkan.bpkp
Lembaga Keuangan Mikro Nelayan Dalam Upaya Pembangunan Sektor Perikanan" http://www.fmwindonesia.org
Nugraha, Priharsa (2015) "Cegah Korupsi, KPK Inisiasi Gerakan Nasional penyelamatan SDA" http://www.kpk.go.id
Trisni Suryarini dan Tarsis Tarmudji. 2012. Pajak di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment