Monday, August 19, 2019
MAKALAH ASPEK HUKUM PERPAJAKAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya pajak merupakan pembayaran yang wajib dan sifatnya memaksa bagi setiap masyarakat. Pungutan pajak itu sendiri mengurangi kekayaan setiap individu, tapi sebaliknya pengeluaran rutin masyarakat yang telah ditentukan yang akan dirasakan kembali untuk masyarakat yang membayar pajak maupun tidak. Adapun menurut Rochmat Soemitro dalam buku Pengantar Singkat Hukum Pajak (Eresco Bandung, 1992) pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di dalam masyarakat. Negara adalah masyarakat yang memiliki tujuan tertentu. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup masyarakat dan kepentingan masyarakat. Karena untuk membiayai kehidupan masing-masing biaya. Baik biaya individu maupun biaya hidup perkelompok.
Biaya hidup negara adalah untuk kelangsungan alat-alat negara, admnistrasi negara, lembaga negara, dan seterusnya, dan biaya tersebut berasal dari pajak. Pada mulanya pajak belum merupakan sutau pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh masyarakat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara. Seperti menjaga keamanan negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan lain-lain. Bagi penduduk yang tidak melakukan pembayaran maka dia diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan umum untuk kepentingan umum dalam beberapa hari dalam setahun.
Pajak mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan bernegara, khususnya didalam pembangunan karena pajak merupakan sumber penghasilan negara untuk membiayai semua pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan. Sistem pemungutan pajak di indonesia adalah Self Assessment System yang berarti wajib pajak diberikan kepercayaan untuk memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri atas pajak yang terhutang terhadap negara. Disamping cara Self Assessment System terdapat cara lain yaitu sistem pemotongan (withholding system). Withholding System merupakan cara yang paling mudah yang dilakukan pemerintah untuk memungut pajak, yaitu dengan cara mewajibkan wajib pajak untuk melakukan pungutan dan pemungutan pajaknya oleh pihak lain.
Dengan cara ini maka pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk memungut pajak. Dalam pemungutan pajak subjek dan objek pajak harus jelas. Oleh karena itu harus dikelola dengan baik dan benar sehingga data wajib pajak sesuai. Selain itu, tarif pajak harus ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku saat itu. Dengan demikian para wajib pajak dapat rutin dan patuh membayar pajak. Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi syarat-syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak baru menjadi wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif. Objek pajak adalah apa yang dikenakan pajak. Mengingat penting dan strategisnya objek pajak karena menyangkut apa yang dikenakan atau tidak dikenakannya pajak atas objek dimaksud, sehingga dalam UU perpajakan kita selalu dengan tegas dinyatakan apa yang menjadi objek setiap jenis pajak.
BAB II
PERMASALAHAN
1. Mengapa Masyarakat Masih Enggan Membayar Pajak ?
2. Mengapa Perusahaan Besar di Indonesia Tingkat Kesadaran Membayar Pajaknya Kurang ?
3. Mengapa Perusahaan Sering Memalsukan SPT Pajak ?
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kajian Teori
A. Pengertian Pajak
Untuk memahami mengapa seseorang harus membayar pajak dalam membiayai pembangunan yang sedang terus dilaksanakan maka diperlulah dipahami terlebih dahulu pengertian pajak itu sendiri. Ingan Seperti diketahui bahwa, negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan negara yang dicantumkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada alenia keempat yang berbunyi : “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial’.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa untuk kepentingan rakyat, negara memerlukan dana untuk membiayai kepenyingan tersebut. Dana yang dikeluarkan ini tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pengutan yang disebut pajak. Pemungutan pajak haruslah terlebih dahulu disetujui oleh rakyat sebagaimana dalam pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat(2) dan pasal 23A Undang-Undang Dasar 1945. Yang menegaskan agar setiap pajak yang akan dipungut haruslah berdasarkan undang-undang. Pungutan pajak harus berlandaskan UUD 1945, berarti pemungutan pajak telah mendapat persetujuan dari rakyatnya melalui perwakilannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang biasa disebut “berasaskan yuridis”. Dengan asas ini berarti telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak negara dalam memungut pajak.
Dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 tentang penagihan pajak dengan surat paksa, pengertian pajak terdapat pada Pasal 1 butir (1) yang menyatakan bahwa, pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, menurut undang- undang dan peraturan daerah.
Sekadar untuk perbandingan, terdapat berbagai ragam atau definisi pajak para sarjana ahli di bidang perpajakan, yakni :
1. Definisi Prancis, termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite dela Science des Finances, 1906, berbunyi :
“ L’impot et la contribution, soit directe soit dissimulee,que La Puissance Publique exige des habitants ou des biens pur subvenir aux depenses du Gouvernment” atau “Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah”
2. Definisi Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919), berbunyi :
“ Steuern sind einmaligc oder lanfende geldleiszungen die richt eine genleistung fur eine besondere leistung darstellen, und von einem offentlich rectlichen Gemeinwesen zur Erzieling von Einkunften allen auferlegt warden, bei denen der Tatbestand zutrift an den das Gesetz die leistung splicht knupft” atau “Pajak adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara), untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand (sasaran pemajakan) yang karena undang-undang telah menimbulkan tentang pajak”
3. Definisi Edwin R.A. Seligman dalam Essays in Taxation, berbunyi :
“ Tax is a compulsory contribution from the person, to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all, without reference to special benefit conferred” atau “pajak wajib bagi setiap orang, untuk pemerintah wajib untuk membiayai untuk kepentingan umum tanpa adanya kepentingan pribadi.
4. Definisi N.J. Feldmann, dalam bukunya De overheidsmiddelen van Indonesia, berbunyi :
“ Belastingen zijn aan de overhead (volgens algemene, door haar vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare prestties, waar geen tegenprestatie tegenover staat en uitshuitend dienem tot decking van publieks uitgaven” atau “Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”
5. Definisi M.J.H. Smeets dalam bukunya De Economsche Betekenis der Belastingen, adalah :
“Belastingen zijn aan de overhead (volgens normen) verschuligde, afdwingbare pretties, zonder dat hiertegenover, in het individuele geval, aanwijsbare tegenprestaties staan; zijn strekken tot decking van publieke uitgaven” atau “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adakalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual;maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah”
6. Definisi Soeparman Soemahamidjaja , menurut Beliau, pajak adalah :
“ Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif”
Dari uraian definisi tersebut, dapat diambil beberapa unsur-unsur atau karakteristik ciri-ciri yang terdapat dalam definisi atau pengertian pajak, yaitu :
1. Bahwa pajak itu adalah suatu iuran, atau kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan (pendapatan) kepada negara. Dapat dikatakan bahwa pemerintah menarik sebagian daya beli rakyat untuk negara.
2. Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti bahwa bila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat dipaksakan, artinya hutang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti surat paksa dan sita.
3. Perpindahan ini adalah berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum. Sekiranya pemungutan pajak tidak didasarkan pada undang-undang atau peraturan, maka ini tidak sah dan dianggap sebagai perampasan hak.
4. Tidak ada jasa timbal (tegen prestasi) yang dapat ditunjuk, artinya bahwa antara pembayaran pajak dengan prestasi dari negara tidak ada hubungan langsung. Prestasi dari negara seperti : hak untuk mendapat perlindungan dari alat-alat negara, hak penggunaan jalan umum, hak untuk mendapatkan pengairan dan sebagainya. Prestasi tersebut tidak ditujukan secara langsung kepada individu pembayar pajak, tetapi ditujukan secara kolektif atau kepada anggota masyarakat secara keseluruhan. Buktinya orang miskin yang tidak membayar pajak pun dapat menikmati prestasi dari negara. Bahkan orang miskin mungkin lebih banyak menggunakan prestasi dari negara di banding dengan orang kaya seperti hal penggunaan sarana atau kesehatan.
5. Uang yang dikumpulkan oleh negara digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat, seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung, gaji untuk pegawai negeri termasuk ABRI dan sebagainya.
B. Dasar Hukum Pemungutan Pajak
Hukum pajak menyangkut hukum konstitusi karena secara garis besar dan secara prinsip terdapat dalam konstitusi negara baik dalam Undang-Undang Dasar (UUD) maupun Konvensi (convention).
Hukum pajak harus memberikan jaminan hukum dan keadilan yang tegas, baik untuk negara selaku pemungut pajak maupun kepada rakyat selaku wajib pajak. Dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (2), ditegaskan bahwa pengenaan dan pemungutan pajak untuk keperluan negara hanya boleh melalui undang-undang. Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 mempunyai arti sangat penting dalam penentuan nasib rakyat. Ketentuan ini kemudian di pertegas dengan amandemen UUD 1945 yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang mengatur tentang pemungutan pajak pada Pasal 23A UUD 1945. Ditetapkannya pajak dalam bentuk undang-undang berarti pajak bukan perampasan hak atau kekayaan rakyat, karena sudah disetujui oleh wakil-wakil rakyat. Pajak juga tidak dapat dikatakan sebagai pembayaran sukarela, karena pajak mengandung kewajiban bagi rakyat untuk mematuhinya dan bila tidak memenuhinya, maka dapat dikenakan sanksi. Selain adanya undang-undang yang memberikan jaminan hukum kepada wajib pajak agar keadilan dapat diterapkan maka faktor lainnya yang harus diperhitungkan oleh negara adalah rasa keadilan bagi wajib pajak, sebab tingkat kehidupan serta daya pikul anggota masyarakat tidak sama. Anggota masyarakat ada yang mampu, kurang mampu, dan tidak mampu.
Menurut hukum konstitusi menunjukkan bahwa penarikan pajak digunakan untuk keperluan negara dan tidak boleh ditarik oleh pihak swasta atau orang perorang atau badan hukum swasta39. Dari hukum penarikan atau pemungutan pajak secara formal harus dalam bentuk undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama dengan Presiden.
Sedangkan untuk daerah-daerah, dengan semangat dan berlakunya peraturan otonomi daerah maka pemungutan pajak dilakukan oleh daerah tersebut, dengan memberlakukan ketentuan hukum yang sama dengan pemerintah pusat dan untuk melakukan suatu pungutan pajak di daerah tidak boleh hanya berdasarkan keputusan kepala daerah (Gubernur atau Walikota atau Bupati), tetapi harus melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat yang dibuat dalam peraturan daerah yang memiliki kekuatan hukum yang jelas.
Dasar hukum yang menjadi landasan dalam pemungutan pajak di Indonesia saat ini adalah :
1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
7. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
8. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
9. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai.
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 dan Pasal 23A. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi Negara maupun warganya.
3. Tidak menganggu perekonomian (syarat ekonomis)
Pemungutan tidak boleh menganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil)
Sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru.
Contoh :
a. Bea Materai disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam tarif.
b. Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi hanya satu tarif, yaitu 10%.
c. Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan disederhanakan menjadi Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku bagi badan maupun perseorangan (orang pribadi).
C. Cara Pemungutan Pajak
Adapun tata cara pemungutan pajak yang dapat dilakukan oleh negara, yaitu :
1. Stelsel pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 stelsel, antara lain :
a. Stelsel nyata (riel stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel adalah pajak yang dikenakan lebih realitis. Sedangkan kekurangannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
b. Stelsel anggapan (fictieve stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur undangundang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikkan stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
c. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar pada pajak menurut anggapan, maka wajib pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil kelebihannya dapat diminta kembali.
D. Asas Pemungutan Pajak
1. Asas domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk wajib pajak dalam negeri.
2. Asas sumber
Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal wajib pajak.
3. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu Negara.
E. Sistem Pemungutan Pajak
1. Official assessment system, yaitu suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya antara lain :
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
b. Wajib pajak bersifat pasif.
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2. Self assessment system, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Ciri-cirinya antara lain :
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib pajak sendiri.
b. Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3. With holding system, yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-cirinya antara lain : wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
3.2 Analisis
A. Mengapa Masyarakat Masih Enggan Membayar Pajak
Tak bisa dipungkiri, pajak sebagai mesin penghasil uang negara telah menjadi primadona penerimaan negara. Negara sangat berharap banyak pada penerimaan pajak untuk dapat mencukupi APBN dan APBD dalam rangka mensejahterakan masyarakat. Namun dalam pelaksanaanya ini jauh sekali dari harapan. Dari 250 juta penduduk Indonesia, hanya 27 juta yang memiliki Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) dan yang lebih ironis lagi dari 27 juta hanya 10 juta yang melaporkan surat pemberitahuan (SPT) pajak.
Salah satu alasan masyarakat enggan membayar pajak adalah karena mereka tidak tahu. Pemerintah beranggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah mengetahui kewajiban membayar pajak. Akan tetapi dalam kenyataannya, masih ada masyarakat yang tidak mengetahui kewajiban membayar pajak, bahkan ada yang tidak mengetahui apa itu pajak dan untuk apa itu pajak. Untuk itu diperlukan upaya sosialisasi agar semua lapisan masyarakat mengetahui bahwa membayar pajak itu wajib dan telah tercantum dalam UU. Apakah setelah semua lapisan masyarakat mengetahui bahwa membayar pajak itu wajib, lantas mereka akan berbondong-bondong untuk memabayar pajak? Tentu saja tidak. Masih ada masalah lain selain ketidak tahuan masyarakat mengenai pajak, seperti :
1. Kurangnya Kepedulian Masyarakat Terhadap Pajak
Banyak dari mereka yang sengaja tidak membayar pajak karena kurangnya kesadaran pribadi untuk membayar pajak. Masalah kepatuhan pajak merupakan masalah klasik yang dihadapi di hampir semua negara yang menerapkan sistem perpajakan. Kurangnya kepedulian akan arti penting pajak bagi keberlangsungan roda pemerintah dan pembangunan menjadi salah satu faktornya.
2. Korupsi dan Penyalahgunaan Pajak
Sudah sepantasnya pegawai pajak memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa uang pajak yang mereka setorkan kepada negara akan terkelola dengan baik demi mewujudkan pembangunan negara ke arah yang lebih baik. Namun, masyarakat sering dibuat kesal oleh kasus korupsi dan penyalahgunaan pajak yang dilakukan para pegawai pajak itu senidiri. Itulah sebabnya korupsi dan penyalahgunaan pajak masih menjadi faktor utama masyarakat enggan bayar pajak.
3. Manfaat Bersama
Kebanyakan masyarakat tidak merasakan manfaat setelah membayar pajak. Penerimaan pajak selalu dikaitkan dengan perbaikan infrastruktur, seperti perbaikan jalan, rumah sakit dan pelayanan publik lainnya. Namun kenyataannya masih banyak jalan yang rusak bahkan menyebabkan jumlah kecelakaan meningkat dan juga gedung rumah sakit dan fasilitas rumah sakit yang tidak memadai.
4. Subsidi
Dari waktu ke waktu subsidi pemerintah semakin berkurang, hal ini terbukti dengan naiknya harga BBM, LPG, dan barang subsidi lainnya.
Selain disebabkan permasalahan-permasalahan di atas, penyebab wajib pajak enggan membayar pajak juga karena munculnya stigma yang menyatakan bahwa urusan pajak adalah urusan yang merepotkan dan adanya kesulitan untuk menghitung pajak yang harus dibayar, karena tarif pajak yang variatif dan memusingkan.
“Jadi, salah siapa jika masyarakat enggan membayar pajak?”
Menurut kami, yang salah dalam hal ini adalah lemahnya aturan dan sanksi yang diterapkan. Jika aturan dan sanksi yang berlaku sudah diterapkan secara tegas dan adil tanpa pandang bulu, maka penyebab-penyebab di atas dapat diminimalisir atau bahkan dimusnahkan. Banyak dari wajib pajak yang tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar pajak, tetapi masih bisa hidup bebas tanpa ada sanksi atau bahkan sekedar tekanan dari pemerintah. Begitu pula dengan para tikus negara alias koruptor, sanksi yang diberikan kepada koruptor tidak sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan.
Oleh karena itu, baiknya pemerintah dan masyarakat harus sama-sama sadar dan menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing sesuai semestinya. Masyarakat membayar pajak dengan baik dan tepat waktu, dan disisi lain pemerintah membangun sarana, prasarana dan menyelenggarakan layanan publik dengan baik dan transparan.
B. Mengapa Perusahaan Besar di Indonesia Tingkat Kesadaran Membayar Pajaknya Kurang
Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai, salah satu penyebab dari gagalnya pencapaian target penerimaan pajak selama ini diakibatkan oleh banyaknya perusahaan yang tidak membayar pajak. Hal semacam ini perlu dicarikan solusi agar penerimaan pajak bisa optimal.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Ditjen Pajak Kemenkeu, Mekar Satria Utama memperkirakan, jumlah perusahaan yang tidak membayar pajak mencapai sebanyak 2.000 perusahaan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan perusahaan tersebut tidak membayar pajak.
Salah satu masalah adalah perusahaan tersebut merupakan perusahaan afiliasi dengan induknya yang ada di luar negeri, sehingga sangat rawan untuk proses transfer pricing. Pada penerapan transfer pricing in tidak jarang ketentuan tersebut diluar pajak yang di tentukan oleh pemerintah Indonesia dan jika cabang perusahaan di Indonesia membayar pajak akan menimbulkan kerugian kepada cabang perusahaan di Indonesia.
C. Mengapa Perusahaan Sering Memalsukan SPT Pajak
Sistem pengisian surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak saat ini memang menggunakan sistem yang mempercayakan wajib pajak untuk melakukan penghitungan sendiri (self assesment system). Meski demikian, pihak Ditjen Pajak mengaku tetap harus kembali memeriksa laporan tersebut.
Ditjen Pajak punya kewajiban untuk memastikan SPT yang dilaporkan benar adanya. Pasalnya, hingga saat ini masih banyak kasus pelaporan pajak palsu. Permasalahan self assesment system terdapat 2 permasalahan yaitu penghasilan yang tertulis tidak sesuai dengan pendapatan dan pajak yang dibayarkan lebih tinggi dari penghasilan.
Jika wajib pajak membayar pajak lebih besar dari penghasilannya setiap tahun maka pemerintah wajib untuk mengembalikan kelebihannya dan jika wajib pajak membayar pajak lebih rendah dari penghasilan maka pemerintah wajib memberikan sanksi.
sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan dan perihal pengenaannya.
Ada 2 macam Sanksi perpajakan,
1. Sanksi Administrasi yang terdiri dari:
a. Sanksi Adrninistrasi Berupa Denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu. Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.
b. Sanksi Aministrasi Berupa Bunga
Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima dibayarkan.
Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang paiak. Penghitungan bunga utang pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga berbunga). Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga majemuk.
Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak/kurang dibayar. Tetapi, dalam hal Waiib Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut dapat ditagih kembali dengan disertai bunga lagi
Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian.
c. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan
Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang paling ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.
Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang.
2. Sanksi Pidana
Kita sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan umum. Dalam perpajakan pun dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.Jangka waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh) tahun.
Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak format. Namun, dalam UU Perpajakan lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada.
BAB IV
SOLUSI DAN SARAN
4.1 Kajian Al-Qur’an dan Hadist Pajak
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Al-Usyr atau Al-Maks, atau bisa juga disebut Adh-Dharibah, yang artinya adalah pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak. Sedangkan para pemungutnya disebut Shahibul Maks atau Al-Asysyar.
Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggarakan jasa-jasa untuk kepentingan umum.
Dalam Islam telah dijelaskan dalil-dalil baik secara umum atau khusus masalah pajak itu sendiri, adapun dalil secara umum, sebagaimana firman Allah:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan masih ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
[QS At-Taubah: 41].
“dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
[QS Al-Baqarah: 195].
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil…”[QS An-Nisa : 29].
Dalam ayat tersebut di atas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya apabila dipungut tidak sesuai aturan. Dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya”
Adapun dalil secara khusus yang mengancam apabila pajak tidak dipungut dengan benar di antaranya bahwa Rasulullah bersabda:
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِى النَّارِ
“Sesungguhnya pelaku atau pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
4.2 Solusi dan Saran
Pemerintah yang tegas. Seorang pemimpin Negara salah satu tugasnya adalah memecahkan masalah perpajakan yang terjadi di negaranya. Seperti halnya dengan Indonesia, Indonesia membutuhkan pemimpin yang katakan no pada korupsi terutama korupsi pajak. Ketika pemimpin sudah dari awal mengatakan dengan tegas bahwa korupsi pajak harus diberantas, maka itulah langkah awal mengatasi permasalahan pajak di Indonesia. Langkah yang selanjutnya bisa dilakukan oleh pemerintah adalah membuat UU atau Perpu yang mengatur tentang perpajakan dan mengaplikasikannya di kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah pun juga wajib membentuk badan yang bertugas mengontrol perpajakan di Indonesia. Dengan adanya pengontrolan pajak, penggunaan pajak akan lebih jelas, untuk kepentingan individu atau kepentingan bersama.
Memilih pegawai pajak yang baik. Kriteria baik untuk seorang pekerja pajak bukan sekedar baik dalam tulisan atau keterangan saja, tetapi pemerintah harus melihat dari bibit dan bobotnya. Pilihlah pegawai yang benar-benar jujur dan mau mengabdikan diri untuk Negara. Seorang pegawai pajak yang baik akan membantu menyelesaikan masalah perpajakan yang semakin semrawut di Indonesia. Lakukan seleksi pegawai secara ketat, tidak hanya dari segi kecerdasan dan keahliannya saja. Tetapi, seleksi bisa anda lakukan dengan melihat akhlaknya, pengetahuan agamanya karena pengetahuan agama yang dimilikinya terkadang menjadi kunci orang tersebut bisa bekerja dengan baik atau tidak.
Penegakan hukum harus cepat. Agar para koruptor pajak tersebut jera, badan penegak hukum, di Indonesia khususnya sebaiknya bisa mengambil langkah nyata ketika mengadili pada mafia pajak. Jangan karena mereka adalah penguasa, maka proses jalannya hukum diperlambat dan mereka juga diperlakukan special. Tidak ada bedanya masyarakat biasa dengan penguasa pajak karena harusnya hak dan kewajibannya di mata hukum tetap sama selagi mereka sama-sama orang Indonesia.
Melakukan sosialisasi dan pendekatan kepada wajib pajak agar tercipta hubungan yang baik sehingga wajib pajak menyadari bahwa membayar pajak adalah suatu kewajiban dan bukan paksaan antara wajib pajak dengan petugas. Pemungut hendaknya menjalin suatu hubungan yang baik karena berawal dari hubungan yang baik inilah tujuan baik bisa tercapai. Wajib pajak yang mengenal baik petugas tentu akan merasa sungkan apabila tidak membayar pajaknya tepat waktu dan ini bisa menjadi suatu cara untuk memaksimalkan penerimaan pajak dari sektor pajak bumi dan bangunan sehingga nantinya realisasi penerimaan bisa mencapai target yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Nainggolan, Pahala, Perpajakan Untuk Yayasan dan Lembaga Nirlaba Sejenis,
Jakarta : Penerbit PT. Pustaka Binaman Pressindo, 2004.
Brotodihardjo, R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung : Penerbit PT.
Eresco, 1995.
Bohari, H., Pengantar Hukum Pajak, Jakarta : Penerbit PT. RajaGrafindo Persada,
2004.
Djajadiningrat, Sindian Isa, Hukum Pajak dan Keadilan, Bandung : Penerbit CV.
Eresco, 1965.
Lasmana, Eko, Sistem Perpajakan di Indonesia, Jakarta : Penerbit PT. Prisma
Campus Grafika, 1994.
Munawir, S., Perpajakan, Yogyakarta : Penerbit Liberty, 1992 Mardiasmo,
Perpajakan, Edisi Revisi 2006, Yogyakarta : Penerbit Andi Yogyakarta, 2006.
Mansury, R., Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan di Indonesia, Jakarta :
Penerbit PT. Salemba Empat, 1994.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment