A.
Konflik
Politik
Dalam
ilmu-ilmu sosial dikenal dua persfektif atau pendekatan yang saling
bertentangan untuk memandang masyarakat. Kedua perspektif tersebut adalah
perspektif konflik (pendekatan structural konflik) dan perspektif konsesus (pendekatan
structural-fungsional). Perspektif konflik menyakatakan bahwa masyarakat selalu
berada pada ruang konflik yang terjadi secara terus-menerus, baik pada tingkat
dan skala kecil maupun skala besar dalam setiap masyarakat. Pandangan
perspektif konflik ini dilandaskan pada sebuah asumsi utama, yakni :
1.
Masyarakat
pada dasarnya tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan dominan. Kekuatan dominan
ini dapat berupa pemodal (orang yang memiliki kekuasaan dibidang ekonomi) atau
negara (penguasa).
2.
Masyarakat
mencakup berbagai bagian yang memiliki kepentingan berbeda dan saling
bertentangan. Karena itu, masyarakat selalu dalam keadaan konflik.[1]
Perspektif konflik ini
sangat berseberangan dengan perfektif fungsional. Pendekatan fungsional ini
berasumsi bahwa masyarakat mencakup bagian-bagian yang berbeda fungsi, tetapi
saling berhubungan satu sama lain secara fungsional. Selain itu, masyarakat
terintegrasi atas dasar suatu nilai yang disepakati bersama sehingga
masayarakat selalu dalam keadaan seimbang dan harmonis.
Kritik perspektif konflik
terhadap pandangan fungsionalis adalah bahwa nilai-nilai bersama yang diyakini
telah menjadi kesepakatan antar masyarakat, bukanlah suatu nilai yang
diciptakan bersama, melainkan terlebih dahulu diciptakan oleh kekuatan yang dominan.
Nilai-nilai tersebut bukanlah suatu konsesus yang nyata, tetapi tak lebih dan
rekayasa kekuatan dominan yang dipaksakan kepada masyarakat.
Dahrendorf (Johnson, 193)
meringkas asumsi teori fungsionalis (atau konsesus atau integritas) yang
bertentangan dengan teori konflik menurutnya, teori fungsional menyatakan bahwa
:
1.
Setiap
masyarakat merupakan suatu struktur elemen-elemen yang secara relatif mantap
dan stabil.
2.
Setiap masyarakat merupakan suatu struktur
elemen-elemen yang terintegritas dengan baik.[2]
3.
Setiap
elemen dalam suatu masyarakat memiliki fungsi, yakni memberikan sumbangan pada
bertahannya mayarakat itu sebagai suatu sistem.
4.
Setiap
struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsesus nilai diantara
para anggotanya.
Sementara teori konflik
menurut Dahrendorf adalah :
1.
Setiap
masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial ada
dimana-mana.
2.
Setiap
masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik, konflik sosial ada
dimana-mana.
3.
Setiap
elemen pada setiap masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan, dan
4.
Setiap
masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
Berangkat dari persfektif
dan asumsi konflik politik diatas, tampaknya pertentangan dan perbedaan menjadi
kunci dalam mendefinisikan apakah yang dimaksud dengan konflik politik. Hal ini
misalnya tergambar dari beberapa definisi tentang konflik itu sendiri yang
dikemukakan oleh para sarjana.[3]
1.
Konflik
didefinisikan sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan didasari antara
individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan yang sama
(Achmad Fedyani Syarifudin: 1986:7)
2.
Konflik
adalah suatu gejala yang wajar terjadi dalam setiap masyarakat yang selalu
mengalami perubahan sosial dan kebudayaan (Lewis S. Cosen, dalam Syarifudin,
1986).
3.
Konflik
politik adalah percekcokan, pertentangan, perselisihan dan ketegangan (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1995).
Dari titik ini, dapat
disimpulkan bahwa konflik adalah “gejala pertentangan dalam masyarakat yang
berkenaan dengan mata rantai kekuasaan dan Negara”[4]
B.
Bentuk
dan Penyebab Konflik Politik
1.
Bentuk
konflik Politik
Konflik dalam masyarakat dibedakan menjadi macam-macam
bentuk konflik. Diantaranya:
a.
Konflik
Pribadi atau Individu
Konflik
ini terjadi antara orang per orang. Masalah yang melandasi konflik pribadi atau
individu ini adalah masalah pribadi. Konflik ini bisa terjadi jika sejak awal
diantara mereka sudah tidak ada rasa simpati dan tidak saling menyukai. Namun
bisa juga terjadi pada orang yang sudah lama saling kenal dan menjalin hubungan
baik. Dalam perjalanan persahabatan itu terjadi konflik yang tidak bisa
disatukan.
b.
Konflik
Rasial
Konflik
Rasial adalah pertentangan kelompok ras yang berbeda karena kepentingan dan
kebudayaan yang saling bertabrakan. Konflik Rasial umumnya terjadi karena salah
satu ras merasa sebagai golongan yang paling unggul dan paling sempurna di
antara ras lainnya.[5]
c.
Konflik
Politik
Masalah
politik sering mengakibatkan terjadinya konflik diantara masyarakat. Konflik
politik merupakan konflik yang menyangkut golongan-golongan dalam masyarakat
maupun diantara negara-negara yang berdaulat.
d.
Konflik
Antarkelas Sosial
Konflik
antarkelas sosial merupakan pertentangan antara dua kelas sosial. Konflik itu
terjadi umumnya dipicu oleh perbedaan kepentingan antara kedua golongan
tersebut.
e.
Konflik
Internasional
Konflik
internasional, yaitu pertentangan yang melibatkan beberapa kelompok Negara
(blok), karena perbedaan kepentingan. Banyak kasus terjadinya konflik
internasional sebenarnya bermula dari konflik dua negara karena masalah politik
dan ekonomi. Konflik berkembang menjadi konflik internasional karena
masing-masing pihak mencari kawan atau sekutu yang memiliki kesamaan visi atau
tujuan terhadap masalah yang dipertentangkan.
f.
Konflik
Antar Kelompok
Konflik
antar kelompok terjadi karena persaingan dalam mendapatkan mata pencaharian
hidup yang sama atau karena pemaksaan unsur-unsur budaya asing. Selain itu,
karena ada pemaksaan agama, dominasi politik, atau adanya konflik tradisional
yang terpendam.
g.
Konflik
Antar Generasi
Konflik
antar generasi adalah konflik yang terjadi karena adanya mobilitas sosial yang
menyebabkan pergeseran hubungan antara generasi satu dengan generasi lain.
Dengan demikian, terjadilah suatu permasalahan, yang satu ingin mempertahankan
nilai yang sama, sedangkan yang lain ingin mengubahnya.
h.
Konflik
Antar Penganut Agama
Dengan
dijiwai toleransi dan saling menghormati, kehidupan beragama di Indonesia dapat
dikatakan rukun. Meskipun demikian, dalam hubungan antar penganut agama,
mungkin saja timbul kesalahpahaman karena sikap prasangka negative dari
penganut agama yang satu terhadap yang lain.
2.
Penyebab
Konflik Politik
Simon Fisher, dkk.
(2000), dalam bukunya Working With Conflik: Skill dan Strategis For Action
(diterjemahkan S.N. Kartikasari, dkk., “ mengelola konflik ketampilaan dan
strategi untuk bertindak), menjelaskan tentang berbagai teori penyebab
terjadinya konflik :
a.
Teori
hubungan mayarakat
Teori
ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya polarisasi yang terus terjadi
dalam masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan
permusuhan diantara kelompok yang berbeda.
Sasaran yang hendak dicapai dalam teori ini
adalah :
1)
Meningkatkan
komunikasi dan saling pengertian antar kelompok yang mengalami konflik.
2)
Mengusahakan
toleransi agar masyarakat bisa saling menerima keragaman yang ada didalamnya.
b.
Teori
Negoisasi Prinsip
Teori
ini menganggap bahwa konflik disebabkan adanya posisi-posisi yang tidak selaras
dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak-pihak yang mengalami
konflik.[6]
Sasaran
yang hendak dicapai dalam teori negoisasi prinsip ini adalah:
1)
Membantu
pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan
berbagai masalah dan isu,dan mendorong pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang
berkonflik untuk melakukan negoisasi yang dilandasi kepentingan mereka daripada
posisi tertentu yang sudah tetap.
2)
Melancarkan
proses pencapaian kesepakatan yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah
pihak atau semua pihak (win-win solution for all).
c.
Teori
kebutuhan manusia
Teori
ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan oleh kebutuhan dasar
manusia. Teori ini berasumsi bahwa konflik yang terjadi bisa disebabkan oleh
kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau sengaja dihambat oleh pihak
lain. Kebutuhan dasar manusia biasanya menyangkut tiga hal, yakni kebutuhan
fisik, mental, dan sosial.
Sasaran
yang dicapai teori ini adalah :
1)
Membantu
pihak-pihak yang sedang berkonflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan
secara bersama-sama mengenai kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi sehingga
memperoleh pilihan-pilihan (alterantif-alternatif) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut.[7]
2)
Membantu
agar pihak-pihak yang mengalami konflik dapat meraih kesepakatan untuk memenuhi
kebutuhan dasar semua pihak.
d.
Teori
identitas
Teori
ini berasumsi bahwa konflik terjadi akibat adanya identitas yang terancam yang
sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan masalalu yang tidak diselesaikan.
Sasaran
yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
1)
Melalui
fasilitas komunikasi dan dialog antar pihak yang mengalami konflik. Mereka
diharapkan dapat mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka
rasakan masing-masing dan untuk membangun mepati dan rekonsiliasi diantara
mereka (pihak-pihak yang berkonflik).
2)
Meraih
kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.[8]
e.
Teori
kesalah pahaman antar budaya
Teori
ini berasumsi bahwa konflik disebabkan adanya ketidak cocokan dalam cara
berkomunikasi diantara berbagai budaya yang berbeda.
Sasaran
yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
1)
Menambah
pengetahuan bagi pihak-pihak yang mengalami konflik.
2)
Mengurangi
stereotip negative yang mereka miliki tentang pihak atau kelompok lain.
3)
Meningkatkan keefektifan komunikasi
antarbudaya.
f.
Teori
Transformasi Konflik
Teori
ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah social, budaya, dan
ekonomi.
Sasaran
yang hendak dicapai dalam teori ini adalah :
1)
Mengubah
beberapa struktur yang dapat menimbulkan terjadinya ketidaksetaraan,
ketidakadilan, dan kesenjangan ekonomi.
2)
Meningkatkan
ikatan hubungan sikap jangka panjang di antarpihak atau antarkelompok yang
mengalami konflik.
3)
Mengembangkan
berbagai proses dan system untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan ,
perdamaian, rekonsiliasi, dan legitimasi atau pengakuan.[9]
C.
Resolusi
Konflik
1.
Pengertian
Resolusi Konflik
Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah
conflict resolution memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang
fokus meneliti tentang konflik. Resolusi dalam Webster Dictionary menurut
Levine adalah :
a.
Tindakan
mengurai suatu permasalahan
b.
Pemecahan
c.
Penghapusan
atau penghilangan permasalahan
Sedangkan Weitzman dalam
Morton and Coleman, mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan
pemecahan masalah bersama (solve a problem together). Lain halnya dengan Simon
Fisher, dkk, yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani
sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama
diantara kelompok-kelompok yang berseteru.[10]
2.
Resolusi
Konflik model John Davies
John Davies, seorang ilmuwan University of Marylands
Center For internasional development dan Conflik, Management, seperti dikutip
Ahmad Doli Kurnia (2005:35-36), membedakan 3 pendekatan dalam pengelolaan
konflik.
a.
Pendekatan
berdasarkan kekuasaan (power-based approach), menggunakan kekuatan kekuasaan
untuk memecahkan semua jenis konflik. Seandainya sifat pemerintahan adalah
otoriter (autborian), pemecahan konflik tampak pada tingkat permukaan
(surface), tidak sampai pada tingkat akar penyebab konflik.[11]
b.
Pendekatan
berdasarkan hukum (right-based approach). Pendeketan ini biasanya lebih
menggunakan hukum, adat, norma dan system hukum sebagai alat untuk
menyelesaikan konflik yang terjadi dimasyarakat. Akan tetapi, struktur politik
di Indonesia memungkinkan untuk melakukan subordinasi penegak hukum pada
kepentingan-kepentingan pemegang kekuasaan sehingga hukum hanya dijadikan
sebagai legitimasi kekuasaan.
c.
Pendekatan
berdasarkan kepentingan (interst-based approach). Pendekatan ini berupa untuk
membangun pemecahan yang mencerminkan nilai, kebutuhan dan kepentingan yang
terpendam dalam hati pihak yang bertentangan.[12]
3.
Resolusi
konflik model Ted Robert Gu
Ted Robert Gur dalam “ A Risk Asassement of
ethnopolitical Robellion” di Measurs, yang dikutip Ahmad Doli Jurnia (2005:37),
mengungkapkan bahwa dari jumlah penduduk sebanyak 1 miliyar atau 17,7 %
penduduk bumi (pada tahun 1995), ada 268 kelompok penduduk minoritas yang politis
dan hidup di 112 negara.[13]
Ironisnya, sebagian besar kelompok minoritas yang
memiliki potensi untuk berkonflik terkonsentrasi dikawasan Asia Timur, Asia
Tenggara, dan Asia Selatan. Beberapa kelompok yang hidup diwilayah-wilayah
tersebut menderita gangguan terjadinya perang sipil yang cukup besar, dan 40%
dari 68 pemberontakan etnopolitik yang aktif didunia selama 1945-1995 terdapat
dikawasan antara afganistan dan Filipina.
Ted Robert Gur mengidentifikasi enam kelompok
minoritas Asia yang memiliki resiko ethnorabellion yang tinggi, yakni:
Timor-Timur, Hindu, Pakistan, Lhotshampas (Bhutan), Zomis (Burma atau Myanmar),
Turkem (Republik Rakyat Cina), dan Papua (Irian Jaya). Sikap pemberontakan
etnopolitik ditimbulkan oleh:
a.
Adanya
perasaan tidak adil atas penyesalan yang dilakukan kelompok berwenang.
b.
Adanya
pengalaman represi dari kelompok dominan terhadap kelompok lain sehingga
menimbulkan rasa dendam dan benci (commo n grievances) dikalangan kelompok yang
direpresif.
c.
Hilangnya
kebebasan dan otonomi yang pernah dimiliki oleh suatu kelompok.
d.
Adanya
diskriminasi aktif, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun budaya, dianggap
dapat mengancam status kelompok.
e.
Adanya
organisasi-organisasi militant yang bisa menggalang mobilisasi massa untuk
melakukan pemberontakan.[14]
Model asassement risiko
dimaksudkan untuk mengungkap potensi dan kemungkinan terjadinya letupan
pemberontakan, bukan dimaksudkan untuk meramal atau meprediksi. Dengan modal
asassement risiko ini, dapat diidentifikasi faktor-faktor yang mesti dilihat
dan dimonitor sehingga bisa dikelola secara lebih baik.[15]
4.
Kemampuan
Resolusi Konflik
Bodine and Crawford dalam Jones dan Kmitta, merumuskan
beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif
resolusi konflik diantaranya:
a.
Kemampuan
orientasi
Kemampuan
orientasi dalam resolusi konflik meliputi pemahaman individu tentang konflik
dan sikap yang menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi,
harga diri.
b.
Kemampuan
persepsi
Kemampuan
persepsi adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap
individu dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti
orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk menyalahkan atau memberi
penilaian sepihak.
c.
Kemampuan
emosi
Kemampuan
emosi dalam resolusi konflik mencakup kemampuan untuk mengelola berbagai macam
emosi, termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi negatif
lainnya.
d.
Kemampuan
komunikasi
Kemampuan
komunikasi dalam resolusi konflik meliputi kemampuan mendengarkan orang lain,
memahami lawan bicara, berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami, dan
meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam
pernyatan yang netral atau kurang emosional.
e.
Kemampuan
berfikir kreatif
Kemampuan
berfikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi kemampuan memahami masalah
untuk memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.
f.
Kemampuan
berfikir kritis
Kemampuan
berfikir kritis dalam resolusi konflik, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi
dan menganalisis situasi konflik yang sedang dialami.
Tidak jauh
berbeda, Scannell juga menyebutkan aspek-aspek yang mempengaruhi individu untuk
dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik meliputi:
a.
keterampilan
berkomunikasi,
b.
kemampuan
menghargai perbedaan,
c.
kepercayaan
terhadap sesama, dan
d.
kecerdasan
emosi.
Dari pemaparan
ahli tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa dalam proses resolusi konflik
diperlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk mencari solusi konflik secara
konstruktif. Kemampuan tersebut di antaranya yaitu kemampuan orientasi,
kemampuan persepsi atau menghargai perbedaan, kemampuan emosi atau kecerdasan
emosi, kemampuan berkomunikasi, kemampuan berfikir kreatif, dan kemampuan
berfikir kritis.[16]
5.
Pelaksanaan
Resolusi Konflik
Di dalam suatu kelompok, konflik adalah sesuatu yang
tak terhindarkan. Ketika anggota kelompok menyatakan masalah mereka dan mencari
solusinya, konflik menjadi sumberdaya yang berharga dibandingkan sebuah masalah
yang harus diselesaikan. Sebagaimana pengertian di atas, resolusi konflik
artinya adalah suatu metode dan proses terkonsep yang digunakan untuk membantu
menyelesaikan konflik dengan damai.
Menurut Forsyth, ada beberapa metode untuk melakukan
pelaksanaan resolusi konflik, sehingga dapat mengubah anggota kelompok yang
berselisih menjadi sebuah perdamaian dan penyelesaian yang akur, di antaranya
adalah sebagai berikut:
a.
Commitment
=> Negotiation
Konflik
dapat muncul ketika anggota di dalam kelompok merasa yakin dengan posisinya dan
tidak ada keinginan untuk mengalah satu sama lain, namun konflik dapat diredakan ketika anggota
kelompok memutuskan untuk bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan yang dapat menguntungkan seluruh pihak. Negosiasi
adalah proses komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua anggota atau
lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara lebih spesifik, menjelaskan posisi
mereka dan saling bertukar gagasan.
Negosiasi
terkadang lebih dari sekedar tawar-menawar atau saling berkompromi. Seperti
negosiasi distributif, kedua belah pihak menyembunyikan orientasi kompetitif
mereka dan secara bergantian sampai salah satu pihak mendapatkan sesuatu yang
lebih baik dari pihak yang lainnya. Di lain pihak, seperti yang ditulis oleh
Roger Fisher and William Ury, negosiasi integratif bertujuan untuk bekerjasama
dengan anggota kelompok untuk meningkatkan kinerja kooperatif dan hasil yang
integratif yang menguntungkan kedua belah pihak. Fisher dan Ury juga
menyarankan anggota kelompok untuk membuat sesi penyelesaian masalah dan
bekerja sama untuk menemukan solusi.
b.
Misperception
=> Understanding
Konflik
seringkali terjadi karena kesalahpahaman. Orang-orang sering menganggap bahwa orang lain ingin
berkompetisi dengan mereka namun pada kenyataannya orang lain tersebut hanya
ingin bekerjasama dengan mereka. Mereka mengira ketika orang lain mengkritik
ide-ide mereka, orang lain tersebut sedang mengkritik mereka secara personal. Mereka
percaya bahwa motif orang lain tersebut adalah untuk menguntungkan pihak
mereka.
Anggota
kelompok harus menghilangkan pola fikir seperti itu dengan cara berkomunikasi
secara aktif terkait motif dan tujuan mereka di dalam diskusi. Komunikasi tidak
cukup untuk menyelesaikan konflik, tetapi mereka juga membuat kesalahpahaman
serta tipu muslihat. Komunikasi dapat membuka peluang anggota kelompok untuk
saling percaya, namun itu juga dapat menjadi “boomerang” bagi kelompok dengan
adanya “curahan hati” dari anggota kelompok yang menunjukkan kebencian maupun
ketidaksukaan pada anggota lain.[17]
c.
Strong
Tactics => Cooperative Tactics
Ada
berbagai cara anggota kelompok untuk mengatasi konflik mereka. Beberapa dari
mereka hanya melihat kepada masalah mereka dan berharap masalah itu akan hilang
dengan sendirinya. Beberapa anggota lainnya mendiskusikan masalah mereka,
terkadang dengan tenang dan rasional, namun terkadang dengan marah dan keras.
Yang lainnya mencari pihak yang netral untuk menjadi moderator dalam konflik tersebut.
Dan mirisnya, ada anggota yang menggunakan kekerasan fisik. Taktik yang
digunakan untuk menyelesaikan konflik pada dasarnya ada 4 (empat) kategori
yaitu:
1)
Avoiding
Pada
dasarnya taktik ini adalah usaha untuk menghindari konflik tersebut dan berharap
konflik itu akan hilang dengan sendirinya. Orang-orang yang mengadopsi taktik
ini biasanya menghindari meeting, mengubah bahan pembicaraan ataupun keluar
dari kelompok tersebut.
2)
Yielding
Anggota
kelompok dalam menyelesaikan masalah yang besar maupun kecil dengan menyerahkan
keputusan kepada orang lain. Setelah melalui proses diskusi dan negosiasi,
anggota kelompok merasa gagasan mereka salah dan akhirnya menyetujui gagasan
anggota kelompok lainnya. Yielding biasa terjadi akibat pola fikir anggota yang
berubah dan setuju dengan pendapat lainnya ataupun tekanan yang ada di dalam
diri mereka.
3)
Fighting
Pada
sejumlah orang, mereka ingin menyelesaikan konflik dengan memaksa anggota
lainnya untuk menerima pandangan mereka. Mereka melihat konflik sebagai situasi
menang-kalah dan menggunakan taktik yang kompetitif dan kuat untuk
mengintimidasi anggota yang lain.
4)
Cooperating
Anggota
yang mengandalkan kerjasama dalam mengatasi konflik cenderung mencari solusi
yang dapat diterima semua pihak. Mereka tidak memaksakan kehendak dan
kompetitif. Alih-alih mereka menunjukkan akar dari permasalahan dan mencari
solusi yang tepat untuk masalah mereka. Orientasi ini disebut sebagai win-win
solution karena mengganggap hasil yang menyangkut orang lain merupakan hasil
mereka juga.
Metode
avoiding dan fighting dianggap metode yang negatif karena berpotensi melahirkan
konflik yang baru dan membiarkan konflik yang ada sehingga tidak terselesaikan.
Di lain pihak metode yielding dan cooperating merupakan metode yang baik dan
menghasilkan solusi yang dapat diterima semua pihak. Sedangkan metode fighting
dan cooperating merupakan metode yang aktif karena adanya usaha nyata untuk
menyelesaikan konflik sedangkan metode avoiding dan yielding merupakan metode
yang pasif.
d.
Upward
=> Downward Conflict Spirals
Kerjasama
yang konsisten diantara orang untuk jangka waktu yang panjang dapat
meningkatkan rasa saling percaya. Tetapi ketika anggota kelompok terus bersaing
satu sama lain, rasa saling percaya akan menjadi lebih sukar dipahami. Ketika seseorang
tidak dapat mempercayai orang lain, maka mereka akan bersaing untuk
mempertahankan hal yang menguntungkan dirinya atau hal yang dapat menghilangkan
persaingan adalah tit-for-tat atau TFT. Tit-for-tat adalah strategi tawar
menawar yang berawal dari kerjasama, tapi kemudian meniru pilihan yang dibuat
orang lain. Dengan kata lain, orang akan bersaing jika orang lain bersaing dan
orang akan bekerjasama jika orang lain bekerjasama.
e.
Many
=> One
Individu
yang tidak terlibat dalam masalah tidak seharusnya memihak salah satu pihak
melainkan harus menjadi mediator dalam konflik tersebut. Pihak ketiga (netral)
dapat membantu meredakan konflik dengan cara:
1)
Meredakan
frustasi dan kebencian dengan memberi kedua belah pihak sebuah kesempatan untuk
mengungkapkan perasaan mereka.
2)
Jika
komunikasi tidak lancar, pihak ketiga dapat membantu untuk meluruskan masalah.
3)
Pihak
ketiga dapat menyelamatkan “muka” dari yang berkonflik dengan membebankan
kesalahan pada diri mereka sendiri.
4)
Pihak
ketiga dapat mengajukan proposal alternatif yang dapat diterima oleh kedua
pihak.
5)
Pihak
ketiga dapat memanipulasi aspek-aspek meeting seperti lokasi, tempat duduk,
formalitas komunikasi, batasan waktu, hadirin dan agenda.
6)
Pihak
ketiga dapat membimbing semua pihak untuk menggunakan proses penyelesaian
masalah secara integratif.
Namun, jika pihak-pihak
ingin menyelesaikan konflik dengan cara mereka sendiri, maka intervensi dari
pihak ketiga akan dianggap sebagai gangguan yang tidak diinginkan.
Keefektifan pihak ketiga
tergantung dari kekuatan mereka di dalam kelompok. Di dalam prosedur inquisitorial, pihak ketiga akan
memberikan pertanyaan kepada kedua belah pihak dan memutuskan hasil yang harus
diterima semua pihak. Di dalam arbitration kedua belah pihak memberikan argumen-argumen
kepada pihak ketiga yang akan membuat sebuah keputusan berdasarkan argumen yang
diberikan. Di dalam moot kedua pihak dan
pihak ketiga berdiskusi, di situasi yang terbuka dan tidak formal tentang
masalah dan solusi yang memungkinkan.
f.
Anger
=> Composure
Ketika
keadaan “memanas”, anggota kelompok yang bertentangan harus mampu mengontrol
emosi mereka. Metode yang efektif untuk mengontrol emosi adalah dengan
berhitung 1 sampai 10 atau menyampaikan humor atau lelucon di kelompok. Humor
dapat memberikan emosi yang positif dan dapat meredam emosi yang negatif
seperti amarah. Kelompok juga dapat melestarikan budaya seperti pelarangan
penunjukan emosi negatif, salah satu contohnya adalah amarah.[18]
D.
Pola
Penyelesaian Konflik
Coser
(1956:62) menyatakan bahwa semakin dekat suatu hubungan, semakin besar rasa
kasih sayang yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan
untuk menekan daripada mengungkapkan rasa permusuhan. Adapun pada hubungan
sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relative
bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan-hubungan
primer yang keterlibatan total para partisipan, membuat pengungkapan perasaan
demikian sebagai bahaya bagi hubungan tersebut.
Yang
menjadi paradoks ialah semakin dekat hubungan, semakin sulit rasa permusuhan
itu diungkapkan. Akan tetapi, semakin lama perasaan demikian ditekan, semakin
penting pengungkapannya demi mempertahankan hubungan itu sendiri. Karena dalam
suatu hubungan yang intim, keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlibat.
Dengan demikian, konflik itu keika benar-benar meledak mungkin sekali akan
menjadi konflik yang sangat besar.
Dengan
demikian, menurut proporsisi coser, bila segala sesuatu dianggap sama, konflik
antara dua orang yang tidak saling kenal akan kurang tajam bila dibandingkan
dengan konflik antara suami-istri. Dalam hubungan yang intim, orang dapat
mencoba menekan rasa permusuhan demi menghindari konflik. Akan tetapi, tindakan
itu sendiri dapat menyebabkan akumulasi permusuhan yang akan meledak bilamana
konflik tersebut berkembang.
Bagaimanapun
beratnya masalah ketika konflik meledak dalam hubungan yang intim itu, Coser
menegaskan bahwa tidak ada konflik tidak bisa dianggap sebagai petunjuk
kekuatan dan stabilitas dari hubungan demikian. Konflik yang diungkapkan dapat
merupakan tanda dari hubungan yang hidup, sedangkan tidak adanya konflik itu
dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan kelak akan suasana yang
benar-benar kacau.[19]
Usaha
manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan
dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan
diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :
1.
Gencatan
Senjata
yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu
tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu.
Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas,
atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan
lain-lain.
2.
Abitrasi
yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh
pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua
belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana
saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak
bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3.
Mediasi
yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi
tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan
perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
4.
Konsiliasi,
yaitu
usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga
tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap penyelesaikan perburuhan
yang dibentuk Departemeapai kestabilan n Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan
persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.
e. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua
belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti
pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah
pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata
antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
f. Adjudication (ajudikasi), yaitu
penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Adapun cara-cara yang
lain untuk memecahkan konflik adalah :
a) Elimination, yaitu pengunduran diri salah
satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan
antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.
b) Subjugation atau domination, yaitu orang
atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau
pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan
yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.
c) Majority rule, yaitu suara terbanyak yang
ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan
argumentasi.
d) Minority consent, yaitu kemenangan
kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas.
Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk
melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.
e) Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai
oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
f) Integrasi, yaitu mendiskusikan,
menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu
keputusan yang memaksa semua pihak.[20]
[1] A.A. Said Gatara dan Moh.
Dzulkiah Said, Sosiologi Politik Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Cv.
Pustaka Setia, Bandung, 2007, Hlm. 181
[2] Ibid, Hlm. 182
[3] Ibid,
[4] Ibid, hlm. 183
[6] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 183
[7] Ibid, hlm. 184
[8] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 184
[9] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 185
[10] Budi Suryadi, Sosiologi Politik, ( Jakarta: Sinar Harapan, 1996),
hlm. 43
[11] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 185
[12] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 186
[13]Ibid,
[14] Ibid. 186-187
[15] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 187
[19] AA. Said Gatara dan Moh. Dzulkiah Said, Op.cit, Hlm. 187-188
No comments:
Post a Comment