Pages

Monday, August 19, 2019

MAKALAH UNDANG-UNDANG, HAKIM DAN HUKUM


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani.
            Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negri maupun luar negri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.
            Bidang hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
            Uraian di atas menunjukkan betapa memprihatinkannya hukum di Indonesia. Mungkin yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga pemasyarakatan karena tidak banyak orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga tidak dapat dikatakan sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat para warga binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah narapidana yang melebihi dua kali lipat dari kapasitasnya menjadikan nasib nasib narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak pidana baru setelah berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep pemidanaan yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana.Keprihatinan yang mendalam tentunya melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat, dan belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum.
B.     Rumusan Masalah
      Dari latar belakang masalah diatas kami sebagai penyusun makalah merumuskan   rumusan-rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.      Pengertian undang-undang?
2.      Sejarah ?
3.      Tahapan Pembentukan Undang-undang?
4.      Fungsi Undang-undang?
5.      Profesi Hakim dan Karakteristiknya?
6.      Tanggung Jawab Hukum Hakim?

C.    Tujuan penulisan

            Adapun dari kami sebagai penyusun makalah ada tujuan-tujuan penulisanya adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui aliran-aliran pemikiran yang berkaitan dengan penemuan hukum oleh hakim .
2.      Untuk mengetahui bagaimana kedudukan hakim dalam penemuan hukum di   Indonesia.
                                                            BAB II
                                                     PEMBAHASAN

A.                Pengertian undang-undang
            Undang-undang dalam arti materiil adalah suatu keputusan pemerintah, yang mengingat isinya disebut undang-undang, yaitu tiap-tiap keputusan pemerintah, yang menetapkan peraturan-peraturan yang mengikat secara umum ( dengan perkataan lain, peraturan-peraturan hukum objektif ).
            Undang-undang dalam arti formiil, adalah keputusan pemerintah yang memperoleh nama undang-undang karena bentuk, dalam mana ia timbul. Di Negeri Belanda Undang-undang dalam arti formil adalah tiap-tiap keputusan , yang ditetapkan oleh R Perataja dan Staten-Generaal bersama-sama. Undang-undang, dalam arti formiil, biasanya memuat peraturan-peraturan hukum, dan biasanya sekaligus merupakan undang-undang dalam arti materiil.
            Selanjutnya undang-undang dapat di bagi dalam :
1.                  Undang-undang tingkatan lebih tinggi
2.                  Undang-undang tingkatan lebih rendah
            Susunan tingkat undang-undang adalah sebagai berikut :
1.        Undang-undang dalam arti formil.
2.        Algemene Maatregele Van Bestuur
3.        Peraturan – peraturan provinsi
4.        Peraturan-peraturan kota praja
Undang-undang tingkatan lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang tingkatan lebih tinggi. Maka undang-undang tingkatan lebih rendah harus mundur untuk undang-undang tingkatan lebih tinggi.
            Undang-undang dasarpun termasuk undang-undang dalam arti formil .undang-undang dasar merupakan undang-undang yang lebih tinggiderajatnya daripada undang-undang dalam arti formil yang lain, dengan arti bahwa undang-undang yang terakhir ini tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dasar.   Dengan perkataan lain pembentuk undang-undang biasa tidak boleh membentuk peraturan-peraturan yang melanggar undang-undang dasar. Tetapi, undang-undang biasa dalam arti formil, yang berlawanan dengan undang-undang dasar, tidaklah mundur untuk undang-undang dasar, melainkan undang-undang dasarlah yang harus mundur.

B.                 Sejarah
            Undang-undang (bahasa Inggris: Legislation - dari bahasa Latin lex, legis yang berarti hukum) berarti sumber hukum, semua dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas yang lebih tinggi, yang dibuat dengan mengikuti prosedur tertulis.
            Konsep hukum yang didefinisikan oleh sebuah laporan dari kontrak dan Perjanjian (yang hasil dari negosiasi antara sama (dalam hal hukum)), kedua dalam hubungan dengan sumber-sumber hukum lainnya: tradisi (dan kebiasaan), kasus hukum, undang-undang dasar (Konstitusi, "Piagam Besar", dsb.), dan peraturan-peraturan dan tindakan tertulis lainnya dari eksekutif, sementara undang-undang adalah karya legislatif, sering diwujudkan dalam parlemen yang mewakili rakyat.
Kekuasaan legislatif biasanya dilaksanakan:
1.                       Dengan Kepala Negara hanya dalam rezim otoriter tertentu, kediktatoran atau kekuasaan mutlak;
2.                           Oleh Parlemen;
3.                  Dengan rakyat sendiri melalui referendum.




C.                Tahapan Pembentukan Undang-undang
            Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diajukan oleh DPR atau Presiden.
·                     Persiapan
            RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan LPND sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. RUU ini kemudian diajukan dengan surat Presiden kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR. DPR kemudian mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden diterima.
            RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan suratpimpinan DPR kepada Presiden. Presiden kemudian menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan DPR diterima.
            DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR mengenai hal yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
·                     Pembahasan
            Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi, melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.
            DPD diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai dengan kewenangannya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

·                     Pengesahan

            Apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama, RUU tersebut tidak boleh diajukanlagi dalam persidangan masa itu.
            RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama.
            RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden. Jika dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
D.                Fungsi Undang-undang
Dasar Hukum : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, yang di dalam pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dengan Persetujuan Presiden.Undang-undang dapat diartikan menjadi 2 yakni Undang-undang dalam arti material serta Undang-undang dalam arti formil. Di Indonesia hanya dikenal Undang-Undang dalam arti formal.
Undang-undang pokok, di Belanda dikenal sebagai Undang-Undang yang mendasari Undang-undang Lain, sementara UU Pokok ini tidak dikenal sebab kedudukan Undang-Undang di Indonesia adalah sejajar.
Fungsi Undang-undang (UU) adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam UUD 1945 (dan Perubahannya) baik yang tersurat (paling tidak ada 18 hal sebagaimana diuraikan oleh A. Hamid, SA) maupun yang tersirat sesuai dengan negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme, serta yang diperintahkan oleh TAP MPR yangtegas-tegas menyebutnya (sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (3) TAP MPR No. III/MPR/2000).
Bahwa pengertian Dewan Perwakilan Rakyat sebagai “memegang kekuasaan membentuk” Undang-undang, maka dapat diartikan dengan “memegang kewenangan”, karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini kekuasaan membentuk Undang-Undang (wetgeven demacht), memang mengandung kewenangan membentuk Undang-UndangBahwa pengertian “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Fungsi Undang-Undang:
1.                  Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya;
2.                  Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945;
3.                  Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya;
4.                  Pengaturan di bidang materi konstitusi, seperti organisasi, Tugas dan Wewenang Susunan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.
E.                 Profesi Hakim dan Karakteristiknya
            Sebagai sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidanaatau yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. ]Sedangkan mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut:
·                     Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dan keadilan.
·                     Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
·                      Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.
·                     Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.
·                     Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
"Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
·                      Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.
·                     Profesi hakim sebagai salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari kaidah-kaidah pokok sebagai berikut:
1.                  Profesi harus dipandang sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi.
2.                  Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur
3.                   Pengembanan profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4.                  Persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi.
5.                  Sebagai suatu profesi di bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
F.                 Tanggung Jawab Hukum Hakim
            Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim.
a.                   Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
b.                  bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
c.                   bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2));
d.                  bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)). Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.
e.                   Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
1.                  Pelaksana putusan Mahkamah Agung;
2.                  Wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnyapenasehat hukum; dan pengusaha.
f.                    Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat dengan alasan:
1.                  Dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
2.                  Melakukan perbuatan tercela;
3.                  Terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
4.                  Melanggar sumpah atau janji jabatan; dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
g.                  Pasal 41 ayat (1) menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada majelis hakim.
h.                  Pasal 41 ayat (4) menyatakan jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.
i.                    Pasal 42 ayat (1) menyatakan bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
1.        Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-  Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
2.        Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
3.        Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
4.        Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
5.        Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
6.        Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
7.        Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.







BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
      Hakim merupakan salah satu anggota dari Catur Wangsa Penegak hukum di Indonesia. Sebagai  penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok dibidang judisial. Dengan tugas seperti itu dapat dikatakan bahwa hakim merupakan pelaksana inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman oleh karena itu keberadaannya sangat penting dan determinan dalam menegakkan hukum dan keadilan melalui putusannya. Para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat mendambakan perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim hakim yang professional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga dapat melahirkan putusan-putusan yang tidak hanya mengandung legal  justice, tetapi juga berdimensikan moral moral justice dan social justice.maka dari itu dalam proses penemuan hukum, hakim harus memperhatikan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat.Interprestasi sosiologis dilakukan dalam rangka menafsirkan aturan      hukum    agar sesuai dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat sekitar.

No comments:

Post a Comment