BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Saat ini tidak mudah untuk
memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya keprihatinan yang mendalam
mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan kemarahan masyarakat
pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan
hati nurani.
Dunia hukum di Indonesia tengah
mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari
dalam negri maupun luar negri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan
bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan
tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya.
Bidang hukum pidana merupakan bidang
hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang
dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana
bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara
pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses
peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan
berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri dengan pelaksanaan
hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana itulah
yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau
perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Uraian
di atas menunjukkan betapa memprihatinkannya hukum di Indonesia. Mungkin yang
tidak mendapat sorotan adalah lembaga pemasyarakatan karena tidak banyak orang
yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga tidak dapat dikatakan
sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat para warga
binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Jumlah narapidana yang melebihi dua kali lipat dari kapasitasnya menjadikan
nasib nasib narapidana juga semakin buruk. Mereka tidak tambah sadar, tetapi
justru belajar melakukan tindak pidana baru setelah berkenalan dengan
narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari konsep pemidanaan yang sesungguhnya
bertujuan untuk merehabilitasi terpidana.Keprihatinan yang mendalam tentunya
melihat reformasi hukum yang masih berjalan lambat, dan belum memberikan rasa
keadilan bagi masyarakat. Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pada
dasarnya apa yang terjadi akhir-akhir ini merupakan ketiadaan keadilan yang
dipersepsi masyarakat (the absence of justice). Ketiadaan keadilan ini
merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law), ketidakhormatan
pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan pada hukum (distrusting
the law) serta adanya penyalahgunaan hukum.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas kami
sebagai penyusun makalah merumuskan
rumusan-rumusan masalahnya sebagai berikut:
1.
Pengertian
undang-undang?
2.
Sejarah ?
3.
Tahapan Pembentukan Undang-undang?
4.
Fungsi
Undang-undang?
5. Profesi Hakim dan Karakteristiknya?
6.
Tanggung Jawab
Hukum Hakim?
C.
Tujuan
penulisan
Adapun dari kami sebagai penyusun makalah ada tujuan-tujuan
penulisanya adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui aliran-aliran pemikiran yang berkaitan dengan penemuan hukum oleh
hakim .
2.
Untuk
mengetahui bagaimana kedudukan hakim dalam penemuan hukum di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
undang-undang
Undang-undang dalam arti materiil
adalah suatu keputusan pemerintah, yang mengingat isinya disebut undang-undang,
yaitu tiap-tiap keputusan pemerintah, yang menetapkan peraturan-peraturan yang
mengikat secara umum ( dengan perkataan lain, peraturan-peraturan hukum
objektif ).
Undang-undang dalam arti formiil,
adalah keputusan pemerintah yang memperoleh nama undang-undang karena bentuk,
dalam mana ia timbul. Di Negeri Belanda Undang-undang dalam arti formil adalah
tiap-tiap keputusan , yang ditetapkan oleh R Perataja dan
Staten-Generaal bersama-sama. Undang-undang, dalam arti formiil, biasanya memuat
peraturan-peraturan hukum, dan biasanya sekaligus merupakan undang-undang dalam
arti materiil.
Selanjutnya
undang-undang dapat di bagi dalam :
1.
Undang-undang tingkatan
lebih tinggi
2.
Undang-undang tingkatan
lebih rendah
Susunan
tingkat undang-undang adalah sebagai berikut :
1.
Undang-undang dalam arti
formil.
2.
Algemene Maatregele Van
Bestuur
3.
Peraturan – peraturan
provinsi
4.
Peraturan-peraturan kota
praja
Undang-undang
tingkatan lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang tingkatan
lebih tinggi. Maka undang-undang tingkatan lebih rendah harus mundur untuk
undang-undang tingkatan lebih tinggi.
Undang-undang dasarpun termasuk
undang-undang dalam arti formil .undang-undang dasar merupakan undang-undang
yang lebih tinggiderajatnya daripada undang-undang dalam arti formil yang lain,
dengan arti bahwa undang-undang yang terakhir ini tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dasar. Dengan perkataan lain
pembentuk undang-undang biasa tidak boleh membentuk peraturan-peraturan yang
melanggar undang-undang dasar. Tetapi,
undang-undang biasa dalam arti formil, yang berlawanan dengan undang-undang
dasar, tidaklah mundur untuk undang-undang dasar, melainkan undang-undang
dasarlah yang harus mundur.
B.
Sejarah
Undang-undang
(bahasa Inggris:
Legislation - dari bahasa Latin lex, legis yang berarti
hukum) berarti sumber hukum, semua dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas yang
lebih tinggi, yang dibuat dengan mengikuti prosedur tertulis.
Konsep hukum yang didefinisikan oleh
sebuah laporan dari kontrak dan Perjanjian (yang hasil dari negosiasi antara
sama (dalam hal hukum)), kedua dalam hubungan dengan sumber-sumber hukum
lainnya: tradisi (dan kebiasaan), kasus hukum, undang-undang dasar (Konstitusi,
"Piagam Besar", dsb.), dan peraturan-peraturan dan tindakan tertulis
lainnya dari eksekutif, sementara undang-undang adalah karya legislatif, sering
diwujudkan dalam parlemen yang mewakili rakyat.
Kekuasaan
legislatif biasanya dilaksanakan:
1.
Dengan
Kepala Negara hanya dalam rezim otoriter tertentu, kediktatoran atau kekuasaan
mutlak;
2.
Oleh
Parlemen;
3.
Dengan
rakyat sendiri melalui referendum.
C.
Tahapan Pembentukan Undang-undang
Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat diajukan oleh DPR atau Presiden.
·
Persiapan
RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan LPND sesuai dengan lingkup
tugas dan tanggung jawabnya. RUU ini kemudian diajukan dengan surat Presiden
kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam
melakukan pembahasan RUU di DPR. DPR kemudian mulai membahas RUU dalam jangka
waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden diterima.
RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan suratpimpinan
DPR kepada Presiden. Presiden kemudian menugasi menteri yang mewakili untuk
membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan DPR
diterima.
DPD dapat
mengajukan RUU kepada DPR mengenai hal yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
·
Pembahasan
Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau
menteri yang ditugasi, melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat
komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani legislasi, dan dalam
rapat paripurna.
DPD diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai dengan
kewenangannya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus
menangani bidang legislasi. DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas
RUU tentang APBN dan RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
·
Pengesahan
Apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama, RUU tersebut tidak
boleh diajukanlagi dalam persidangan masa itu.
RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan
oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU, dalam jangka waktu
paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama.
RUU tersebut disahkan oleh Presiden
dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui
oleh DPR dan Presiden. Jika dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui
bersama tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU
dan wajib diundangkan.
D.
Fungsi Undang-undang
Dasar
Hukum : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 Undang-undang adalah
peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, yang
di dalam pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat dengan Persetujuan Presiden.Undang-undang dapat diartikan menjadi 2
yakni Undang-undang dalam arti material serta Undang-undang dalam arti formil.
Di Indonesia hanya dikenal Undang-Undang dalam arti formal.
Undang-undang
pokok, di Belanda dikenal sebagai Undang-Undang yang mendasari Undang-undang
Lain, sementara UU Pokok ini tidak dikenal sebab kedudukan Undang-Undang di
Indonesia adalah sejajar.
Fungsi
Undang-undang (UU) adalah menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan
dalam UUD 1945 (dan Perubahannya) baik yang tersurat (paling tidak ada 18 hal
sebagaimana diuraikan oleh A. Hamid, SA) maupun yang tersirat sesuai dengan
negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme,
serta yang diperintahkan oleh TAP MPR yangtegas-tegas menyebutnya (sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 ayat (3) TAP MPR No. III/MPR/2000).
Bahwa
pengertian Dewan Perwakilan Rakyat sebagai “memegang kekuasaan membentuk”
Undang-undang, maka dapat diartikan dengan “memegang kewenangan”, karena suatu
kekuasaan (macht), dalam hal ini kekuasaan membentuk Undang-Undang (wetgeven
demacht), memang mengandung kewenangan membentuk Undang-UndangBahwa
pengertian “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Fungsi Undang-Undang:
1.
Menyelenggarakan
pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang
tegas-tegas menyebutnya;
2.
Pengaturan
lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945;
3.
Pengaturan
lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya;
4.
Pengaturan
di bidang materi konstitusi, seperti organisasi, Tugas dan Wewenang Susunan
Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.
E.
Profesi Hakim dan
Karakteristiknya
Sebagai
sebuah profesi yang berkaitan dengan proses di pengadilan, definisi hakim
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidanaatau
yang biasa disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1
angka 8 KUHAP menyebutkan, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. ]Sedangkan
mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim untuk menerima,
memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak
di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam
undang-undang.
Hakim
memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negara hukum. Oleh
karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh
penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan
sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan,
atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.
Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut:
·
Profesi hakim adalah
profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai
kemerdekaan dan keadilan.
·
Selanjutnya, nilai
keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan
secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat
dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan
orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan
keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama
manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.
·
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada
atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak
ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai
nilai keterbukaan.
·
Hakim wajib menjunjung
tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari
persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga
orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan
musyawarah secara tertutup.
·
Hakim harus senantiasa
mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia
bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban
secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada
lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan
dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang- Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:
"Segala
putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
·
Hakim wajib menjunjung tinggi nilai
obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa
hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai
hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan
perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera,
maupun sesama majelis hakim.
·
Profesi hakim sebagai
salah satu bentuk profesi hukum sering digambarkan sebagai pemberi keadilan.
Oleh karena itu, hakim juga digolongkan sebagai profesi luhur (officium
nobile), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan pada manusia
dan masyarakat. Setiap profesi memiliki etika yang pada prinsipnya terdiri dari
kaidah-kaidah pokok sebagai berikut:
1.
Profesi harus dipandang
sebagai pelayanan, oleh karenanya, sifat "tanpa pamrih" menjadi ciri
khas dalam mengembangkan profesi.
2.
Pelayanan profesional
dalam mendahulukan kepentingan pencari keadilan mengacu pada nilai-nilai luhur
3.
Pengembanan profesi harus selalu berorientasi
pada masyarakat sebagai keseluruhan.
4.
Persaingan dalam
pelayanan berlangsung secara sehat sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan
mutu pengemban profesi.
5.
Sebagai suatu profesi di
bidang hukum yang secara fungsional merupakan pelaku utama dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, hakim dituntut untuk memiliki suatu
keahlian khusus sekaligus memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup tugas
dan kewajibannya. Salah satu unsur yang membedakan profesi hakim dengan profesi
lainnya adalah adanya proses rekrutmen serta pendidikan bersifat khusus yang
diterapkan bagi setiap orang yang akan mengemban profesi ini.
F.
Tanggung Jawab Hukum Hakim
Beberapa
peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan
mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi
hakim.
a.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi
yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:
b.
bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat (Pasal 28 ayat (1));
c.
bahwa dalam mempertimbangkan
berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat
dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2));
d.
bahwa hakim wajib mengundurkan
diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai,
dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal
29 ayat (3)). Selain peraturan perundang-undangan yang menguraikan tanggung jawab
profesi hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman secara umum, terdapat
pula ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab profesi
Hakim Agung, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Undang-undang ini mengatur ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan menjadi
tanggung jawab Hakim Agung, di antaranya sebagai berikut.
e.
Pasal 10 ayat (1) menyatakan
bahwa Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:
1.
Pelaksana putusan
Mahkamah Agung;
2.
Wali, pengampu, dan pejabat
yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa
olehnyapenasehat hukum; dan pengusaha.
f.
Pasal 12 ayat (1) menyatakan
bahwa Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat
dengan alasan:
1.
Dijatuhi pidana penjara
berdasarkan putusan pengadilan karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
2.
Melakukan perbuatan
tercela;
3.
Terus-menerus melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya;
4.
Melanggar sumpah atau
janji jabatan; dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
g.
Pasal 41 ayat (1) menyatakan
bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan
suami atau isteri meskipun telah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota
atau Panitera pada majelis hakim.
h.
Pasal 41 ayat (4) menyatakan
jika seorang hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau tingkat
banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang
memeriksa perkara yang sama.
i.
Pasal 42 ayat (1) menyatakan
bahwa seorang hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri
berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung. Di samping kedua
undang-undang di atas, peraturan berbentuk undang- undang lainnya yang
mencantumkan ketentuan mengenai tanggung jawab profesi hakim adalah:
1.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama;
2.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum;
4.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara;
5.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi
6.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak; dan
7.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hakim merupakan salah satu anggota
dari Catur Wangsa Penegak hukum di Indonesia. Sebagai penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok
dibidang judisial. Dengan tugas seperti itu dapat dikatakan bahwa hakim
merupakan pelaksana inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan
kehakiman oleh karena itu keberadaannya sangat penting dan determinan dalam
menegakkan hukum dan keadilan melalui putusannya. Para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat mendambakan
perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim hakim yang
professional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga dapat
melahirkan putusan-putusan yang tidak hanya mengandung legal justice, tetapi juga berdimensikan moral
moral justice dan social justice.maka dari itu dalam proses penemuan hukum, hakim
harus memperhatikan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat.Interprestasi
sosiologis dilakukan dalam rangka menafsirkan aturan hukum
agar sesuai dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat sekitar.
No comments:
Post a Comment