Pages

Monday, August 19, 2019

MAKALAH Manajemen Perubahan


BAB I

PENDAHULUAN


Berubahnya paradigma pembangunan nasional ke arah demokratisasi dan desentralisasi, menumbuhkan kesadaran yang luas tentang perlunya peran serta masyarakat dalam keseluruhan proses dan program pembangunan. Pemberdayaan dan partisipasi muncul sebagai dua kata yang banyak diungkapkan ketika berbicara tentang pembangunan. Meskipun demikian, pentingnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat belum sepenuhnya dihayati dan dilaksanakan oleh stakeholders pembangunan, baik dari kalangan pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat. Bahkan di kalangan masyarakat sendiri masih gamang menghadapi praktek partisipasi dalam melaksanakan setiap tahapan pembangunan di lingkungannya. Di sisi lain, hampir semua proyek dan program pemerintah mensyaratkan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaanya, dimana masyarakat ditempatkan pada posisi strategis yang menentukan keberhasilan program pembangunan. Akan tetapi, dalam prakteknya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat sering disalahgunakan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
1.      Bagaimana menganalisis kekuatan yang mempengaruhi perubahan ?
2.      Bagaimana proses dan mengelola perubahan ?
3.      Apa saja penolakan terhadap perubahan dan cara mengatasinya ?
1.      Mengetahui menganalisis kekuatan yang mempengaruhi perubahan
2.      Mengetahui proses dan mengelola perubahan
3.      Mengetahui penolakan terhadap perubahan dan cara mengatasinya


BAB II

PEMBAHASAN


Pihak yang menginginkan perubahan, disamping harus konstan dalam tujuan juga harus luwes dalam cara. Hal ini mengharuskan mereka memahami kekuatan yang mungkin menolak perubahan serta yang menciptakan kebutuhan akan perubahan. Hal ini dapat dilakukan dengan menganalisis faktor pendukung dan faktor penghambat terhadapa perubahan, kemudian menggali faktor pendukung dan mengatasi faktor penghambat.
Proses menganalisis faktor pendukung dan faktor penghambat disebut analisis kekuatan lapangan, yang antara lain meliputi kegiatan :
1.      Menganalisis kekuatan penghambat dan pendukung yang akan mempengaruhi transisi menuju pada keadaan masa yang akan datang. Kekuatan penghambat akan mencakup reaksi pihak yang melihat perubahan sebagai sesuatu yang tidak perlu atau sebagai satu ancaman.
2.      Menilai kekuatan pendukung dan penghambat yang kritis.
3.      Mengambil langkah, baik untuk meningkatkan kekuatan pendukung yang kritis maupun untuk mengurangi atau menghilangkan kekuatan penghambat yang kritis.
Pada waktu menganalisis kemungkinan dampak perubahan di satu bagian dalam organisasi, yang perlu dipertimbangkan adalah pandangan menyeluruh tentang bagaimana perubahan yang didesain tersebut akan mempengaruhi organisasi secara keseluruhan, bukan hanya bagaimana perubahan tersebut secara langsung mempengaruhi orang-orang dibidang itu.






Menurut Siagian (1998; 216-217), bahwa faktor-faktor pemicu terjadinya perubahan adalah :
a.       Perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
b.      Perkembangan teknologi terjadi dengan kepesatan yang belum pernah dialami oleh umat manusia sebelumnya.
c.       Terjadinya proses demokratisasi dalam bidang politik, supermasi hukum dan ekonomi yang mengemuka dalam bentuk tuntutan yang makin kuat di lapangan masyarakat akan berbagai haknya.
d.      Berkat perkembangan dan terobosan teknologi yang melahirkan revolusi : transportasi, komunikasi, informasi, dunia semakin kecil sehingga disebut sebagai suatu desa yang global.
e.       Perubahan geopolitik terjadi dengan berakhirnya perang dingin sehingga menimbulkan optimisme baru di kalangan umat manusia bahwa dunia tidak akan pernah lagi dilanda perang dunia.
Perubahan merupakan sesuatu hal yang tetap konstan dalam organisasi. Keadaan pasar dan produk yang terus berubah pesat, akan dapat memecahkan atau menghancurkan organisasi jika organisasi tidak siap menghadapi perubahan pesat tersebut.
Tiap organisasi, sampai tingkat tertentu, akan berada dalam situasi perubahan yang terus-menerus. Untuk dapat tetap bertahan dan berkembang, maka organisasi harus terus tumbuh dan mengadakan penyesuaian. Organisasi harus berinovasi, mengembangkan sesuatu yang baru, menata kembali status hukum, organisasi, dan struktur permodalan termasuk memperkenalkan dan memanfaatkan teknologi baru, mengubah metode dan praktik kerja.
Walaupun hal ini tidak terjadi secara suka rela, namun perubahan mungkin terjadi karena dipaksakan oleh persaingan dan perubahan dalam lingkungan bisnis, politik maupun sosial. Pimpinan harus mampu memperkenalkan dan mengelola perubahan serta memperoleh komitmen dari suatu kelompok.
Perubahan merupakan salah satu keadaan yang antara lain berhubungan dengan: kebutuhan pelanggan yang berubah, perkembangan teknologi yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan pellanggan, praktik manajerial yang berubah, dan lain-lain. Dalam memikirkan perubahan, yang penting adalh membedakan antara upaya meningkatkan efektivitas operasional atau meningkatkan kualitas manajemen dan mengubah posisi kompetitif.
Perubahan pesat harus secara aktif dihadapi dalm lingkungan upaya meningkatkan efektivitas operasional. Suatu organisasi tidak akan dapat bertahan dengan ketinggalan selama dua tahun dalam proses penyediaan jasa dan harus menggunakan metode, tehnik dan ide terbaru serta harus memutuskan jenis jasa tertentu yang hendak disajikan, apabila mereka ingin memiliki kesempatan untuk mempunyai keunggulan persaingan.
Mengubah strategi perlu dilakukan apabila kebutuhan fundamental dari kelompok pelanggan sasaran kita telah berubah, atau apabila jenis produk yang ditawarkan tidak dapat dibedakan lagi dari produk lain. Strategi harus diubah apabila trade offs terhapus oleh adanya teknologi baru atau oleh perubahan yang terjadi pada pelanggan.
Perubahan tidak dapat dihindari, dan oleh karenanya, upaya mempersiapkan diri untuk menghadapi dan mengelola perubahan perlu dilakukan, antara lain dengan memahami dan mengatasi beberapa hal berikut ini:
a.       Proses perubahan faktor dan kekuatan yang menghasilkan pembaruan.
b.      Dampak perubahan.
c.       Penolakan terhadap perubahan, mengapa dan bagaimana orang menolak perubahan.
d.      Teknik manajemen perubahan.

Manajemen perubahan merupakan salah satu tantangan besar yang harus dihadapi pimpinan, oleh sebab itu untuk mengelola perubahan, pimpinan perlu memperhatikan beberapa hal berikut, antara lain :
a.       Memahami mekanisme dasar perubahan.
b.      Mengembangkan program perubahan.
c.       Menganalisis kekuatan yang mempengaruhi perubahan.
d.      Mengambil langkah untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan.
e.       Memperoleh komitmen terhadap perubahan.
f.        Meningkatkan laju perubahan.
Dengan memerhatikan dan melaksanakan beberapa hal untuk mengelola perubahan seperti tersebut, maka perubahan dapat dilakukan dengan berhasil. Selain itu perlu diperhatikan pada beberapa mekanisme dasar untuk mengelola perubahan dan pembekuan ulang, seperti diantaranya :
1.      Pencarian
Berarti mengubah ekuilibrum stabil yang terjadi saat itu, yang mendukung perilaku dan sikap yang ada. Proses ini harus memperhitungkan ancaman yang dihadirkan perubahan kepada berbagai pihak dan kebutuhan untuk memotivasi mereka yang dipengaruhi oleh perubahan tersebut untuk mencapai keadaan ekuilibrium yang alami dengan menerima perubahan.
2.      Perubahan
Artinya mengembangkan tanggapan baru berdasarkan informasi baru.
3.      Pembekuan ulang
Berarti menstabilkan perubahan dengan memperkenalkan tanggapan baru dalam kepribadian pihak yang terlibat.

Disamping itu dalam memprogram perubahan harus memasukkan proses pengembangan organisasi antara lain :
a.       Menetapkan sasaran dan mendefinisikan kondisi organisasi yang diinginkan di masa mendatang setelah perubahan.
b.      Menganalisis kondisi saat ini dalam kaitannya dengan sasaran.
c.       Menetapkan kegiatan dan komitmen terhadap masa transisi yang diperlukan untuk mengantisipasi situasi masa yang akan datang.
d.      Mengembangkan strategi dan rencana tindakan untuk menelola transisi dengan mempertimbangkan analisis faktor yang mungkin mempengaruhi perkenalan perubahan.
Adanya kecendrungan untuk menolakperubahan oleh para anggota organisasi mengandung segi positif dan negatif. Dalam arti positif, misalnya ika tidak teradi perubahan maka stabilitas organisasiterjamin. Dalam keadaan demikian, karyawan mudah berprilaku sesuai  dengan tuntunan organisasi dan manajemen karna hal tersebut sudah dipahami, kecendrungan menolak perubahandari segi lain yang bersifat positif adalah dengan diambilnya keputusan yang tepat tentang bentuk perubahan yang akan terjadi, sebab sebelumnya telah dibahas tentang perencanaan perubahan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkena perubahan. Dan jika terjadi ketidaksesuian  tentang rencana perubahan yang akan dilaksanakan segi positifnya adalah masih ada kesempatan untuk mengadakan musyawarah sampai menemukan kesepakatan bersama.
Selain itu terdapat segi negatif dari penolakan terhadap perubahan. Penolakan terhadap perubahan diantaranya adalah penolakan yang akan membuat penyesuaian perilaku lebih sulit dan akan menjadi penghalang bagi pelaksananya perubahan. Manajemen harus eli mengamati tentang penolakan perubahan yang teradi, apakah penolakan itu sercara terbuka, atau terhubung, dinyatakan ingin segera atau tidak.
Pendapat dari beberapa pakar dari pengalaman beberapa perusahaan yang telah melakukan perubahan menyatakan bahwa kecendungan untuk menolak perubahan teradi pada tingkat,yaitu,individual,kelompok dan organisasi.
Pertama, penolakan pada tingkat individual. Individu yang mempunyai sesuatu yang khas akan menentukan bentuk penolakan yang akan ditampilkan oleh individu tersebut. Perubahan akan mengganggu kebiasaan yang dimiliki individu dan merupakan ancaman bagi jabatan,kedudukan atau karir seseorang. Penolakan perubahan uga akan terjadi apabila masing-masing individu karyawan merasa bahwa perubahan akan mengakibatkan turunnyapenghasilan mereka, terlebih lagi apabila mereka tidak dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan baru yang merupakan tuntutan dari organisasi tempatnya bekerja. Berikutnya adalah khwatir menghadapi ketidak pastian karna pada umumnya tiap individu tidak senang memasuki keadaan yang masih asing atau baru,sehingga hal baru tersebut, tidak selalau dihadapi dengan hati lapang terutama pada awalnya.
Kedua penolakan pada tingkat kelompok. Kenyataan menunukan bahwa karena berbagai faktor maka pada umumnya suatu kelompok akan menumbuhkan kebersamaan atau kekompakan. Kekompakan tersebut dapat menimbulkan keinginan kuat untuk mempertahankan eksistensi kelompok. Apabila manajemen akan melakukan perubahan yang menggangu kekompakan kelompok, atau yang akan mengancam keberadaan kelompok, maka kelompok tersebut cenderung akan menolak perubahan.
Ketiga penolakan pada tingkat organisasi Penolakan perubahan oleh organiosasi teradi karna tiga faktor utama, yaitu karena inersia struktural, ancaman terhadap pengetahuan dan keteramplan serta ancaman terhadap pola hubungan dan kekuatan yang sudah dianggap baik. Inersia struktural sebgai alasan menolak perubahan. Pada umumnya pada organisasi sudah ada mekanisme untuk memelihara stabilitas organisasi tersebut.
Sementara ada pihak yang mengambil sikap menentang/ sikap negatif terhadap suatu perubahan, tetapi dilain pihak ada juga keinginan untuk memperoleh pengalaman baru yang banyak mendasari perilaku manusia. Fakta ini membantu mengatasi terhadap perubahan. Berkaitan dengan hal tersebut, berikut ini tiga cara untuk menerima perubahan:
a.       Kepatuhan ‘’ lakukan karna saya melakaukannya’’individu ini menerima perubahan karna merasa harus. Ia belum tentu merasayakin dengan apa yang harus dilakukannya.
b.      Identifikasi, atau ‘’ lakukan karna saya melakukannya’’ individu ini menerima perubahan karna ia mendefinisikan keyakinan dan tindakannya dalam bentuk apa yang dilakukan oleh orang lain.
c.       Kepuasan intrinsik, atau ‘’ lakukan karna pantas dilakukan’’ individu ini menerima perubahan karena situasi baru secara intrinsik memuaskan atau karna perubahan ini sesuai dengan sekelompok nilainya. Individu ini mungkin dipengaruhi orang lain dalam membentuk pandangannya, tetapi akhirnya ia menerima perubahan karna menyukainya dan bukan karna orang lain menyukainya.
Restrukturalisasi merupakan instrumen paling ampuh jika tidak dikatakan satu satunya dalam upaya menyehatkan perusahaan.
Adapun dalam pengertian luas, Obolensky (1996;3) menjelaskan pengertian tentang penataan kembali(rekayasa ulang) suatu perusaahan sebagai suatu ‘’ usaha yang dilakukan organisasi untuk merubah proses dan kendali internalnya dari  suatu hierarki vertikal fungsional dan tradisional, menjadi struktur pipih yang horizontal linyas-fungsional dan berlandaskan kerja sama tim yang berfokus pada proses yang membuat pelanggan ‘’nyaman’’ ini artinya organisasi yang  berbenuk ‘’ cerobong ‘’  harus secepatnya di ubah menjadi bentuk ‘’jaringan’’yakni berupa tim-tim yang terbentuk dan terurai lagi. Sementara waktu, pegawai dapat bekerjadilebih dari satu tim, dengan berbagai peran yang berbeda pada saat yang bersamaan.
Mengenai latar belakang perlunya restrukturalisasi, dapat dilacak dari sifat dasar organisasi modern, baik pada sektor publik maupun sektor privat atau bisnis yang merupakan suatu sistem terbuka. Konsekuensi dari sistem terbuka menurut Daft (1992 : 9) Agar organisasi tetap dapat eksis, maka ia harus mampu interaksi, dan beradaptasi dengan lingkungan, serta cara continue melakukan perubahan sealan dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Secara rinci Daft menganjurkan kepada setiap organisasi untuk dapat menghadapi lingkungan yang bergejolak dan tidak dapat dipastikan, yakni dengan melakukan empat hal yaitu:
1.      Menemukan dan menentukan kebutuhan akan sumber daya,
2.      Menafsirkan dan menentukan sikap terhadap perubahan lingkungan,
3.      Memacu pencapaian hasil atau produk,
4.      Meningkatkan pengawasan dan koordinasi kegiatan internal.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa selain terdapat dinamika pada lingkup internal, suatu organisasi juga tidak bisa melepaskan diri untuk mementingkan organisasi yang bersangkutan. Artinya, kemampuan organisasi dalam mewuudkan tujuannya, akan sangat dipengaruhu oleh perubahan lingkungan strategis yang terjadi di luar organisasi.
Dan adapun pengaruh terjadinya rekstrukturalisasi dapat dicapai (5) tujuan khusus yaitu:
1.      Meningkatkan produktivitas perusahaan,
2.      Mengoptimalkan nilai bagi para pemegang saham,
3.      Mencapai hasil yang luar biasa,
4.      Mengonsilidasikan fungsi-fungsi
5.      Menghilangkan tingkatan dan pekerjaan yang tidak perlu. Bennis and Mische (1996: 14-18)
Restrukturisasi hukum adalah suatu tindakan dalam rangka penataan kembali baik dari hukum yang belum diatur dalam peraturan (wet vacuum) maupun yang sudah diatur dalam suatu peraturan namun peraturan atau pasal tersebut tidak cocok atau relevan lagi dengan kondisi Indonesia saat ini.
Status hukum dalam pembahasan di sini artinya adalah berbagai aspek hukum/peraturan yg berkaitan dengan eksternal dan internal organisasi, termasuk di dalamnya aspek badan hukum. Peraturan internal adalah ketentuan yang meliputi organisasi intern suatu organisasi. Sedangkan peraturan external berupa ketentuan yg datang dari luar kebijakan manajemen organisasi.
Selanjutnya yang dimaksud dengan mengubah ststus hukum, adalah mengubah/ menyempurnakan berbagai rambu-rambu yg mencakup peraturn yang selamaini lebih bersifat kaku/ sudah tidak sesuai  lagi , sehingga menghambat kelancaran oprasional dan eleksibilitas manajemen organisasi.
Berbicara tentang perubahan status hukum, tidak lepas kaitannya dengan aturan yang melandasi adanya suatu landasan usaha atau perusahaan yang meliputi misi dan visi, program kerja serta budaya kerja. Restrukturisasi dalam mengubah status hukum, disamping akan dapat mendorong dicapainya misi dan visi perusahaan, juga akan dapat meningkatkan produktivitas , juga akan dapat meningkatkan produktivitas dan etos kerja. Apabila status hukum perusahaan diubah maka otomatis perusahaan akan meninjau kembali misi dan visi perusahaan yang berorientasi pada mengoptimalkan keuntungan dengan kemampuan tinggi , maka organisasi akan mampu melakukan pemberdayaan sehingga produktivitas meningkat dan kualitas pelayanan meningkat pula.
Untuk visi organisasi, seharusnya memperhatikan kepentingan masyarakat pelanggan, membantu melaksanakan kebijaksanaan program pemerintah yang ada . Sedangkan tentang misi organisasi/perusahaan  disini mempunyai peran yaitu mendapatkan keuntungan. Berikutnya adalah program kerja, yang direncanakan dalam periode tertentu  guna mencapai visi dan misi organisasi. Terakhir adalah budaya kerja , dalam arti etos kerja yang dimiliki organisasi dalam melaksanakan program kerja untuk mencapai visi dan misi organisasi.
Implikasi lain dalam hal pemberdayaan, yaitu penyusunan program kerja harus cepat dilakukan dengan berorientasi kepada efektivitas dan efisiensi, sehingga untuk melaksanakannya dituntut budaya kerja dengan etos kerja yang tinggi.
Perubahan status hukum pada hakikatnya merupakan perubahan kebijakan yang menjadi dasar legitimasi berdirinya suatu organisasi. Dengan demikian maka dalam  The Policy Process as a Hierarcchy (Bromley,1989) disebutkan bahwa tiap kebijakan dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkatannya (level) , mulai dari policy level,organizational level , dan operational level.  Antara level yang satu dengan level yang lain terdapat suatu keterkaitan. Produk atau status hukum yang tingkatannya lebih rendah, merupakan arrangement  atau pengaturan lebih lanjut dari produk atau status hukum  yang tingkatanya lebih tinggi. Berikutnya, dari berbagai tingkatan kebijakan ini muncul suatu penilaian atau umpan balik (assessment) , untuk menilai sampai sejauh mana keberhasilan  (outcomes) suatu kebijakan termaksud.
Berubahnya status hukum dalam suatu perusahaan , membawa implikasi terhadap produk kebijakan yang ada dalam perusahaan tersebut secara keseluruhan bermuara kearah tercapainya tujuan pemberdayaan organisasi
Setiap organisasi tidak biasa terlepas dari pengaruh lingkungan khususnya lingkungan eksternal, sehingga organisasi selalu di tuntut untuk melakukan reorientasi, revitalisasi, reorganisasi,  maupun restrukturisasi. Jika tidak dapat dipastikan bahwa organisasi akan mengalami kemunduran bahkan kehancuran.



Restrukturisasi Organisasi merupakan suatu kebijakan manajemen dalam upaya meningkatkan performa organisasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan efektivitas kerja pegawai dalam meningkatkan produktivitas kerja sesuai tujuan organisasi. Restrukturisasi ini berkaitan dengan seberapa besar struktur organisasi akan dibentuk berdasarkan pertimbangan penilaian kinerja yang didasarkan pada bentuk struktur yang lama.
Proses    restrukturisasi organisasi dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu tujuan organisasi, kepemimpinan, struktur hirarki, beban kerja, dan komposisi pegawai. Melakukan perubahan terhadap struktur organisasi berarti melakukan perubahan terhadap tata kerja organisasi. Proses perubahan tersebut lebih dikenal dengn istilah restrukturisasi organisasi.
Adapun pengertian  restrukturisasi  organisasi menurut Suad  Husnan dan Enny Pudjiastuti (2004:401) bahwa “ restrukturisasi organisasi merupakan kegiatan untuk merubah struktur organisasi”. Dengan demikian, jelaslah bahwa  restrukturisasi  merupakan upaya untuk merubah struktur organsasi yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas kerja pegawai dalam mencapai tujuan organisasi yang diharapkan.
Dalam pengertian luas, menurut Bramantyo Djohanputro (2004:33-34), restrukturisasi dapat dikatagorikan ke dalam tiga jenis:
1.      Restrukturisasi portofolio/asset merupakan kegiatan penyusunan portoflio perusahaan supaya kinerja perusahaan menjdsemakin baik yang termasuk kedalam portofolio perusahaan adalah setiap asset, unit bisnis, unit devisi, unit usaha  atau SBU (Strategi Business Unit) maupun anak perusahaan.
2.      Restrukturisasi model/keuangan adalah penyusunan ulang komposisi perusahaan supaya kinerja keuangan menjadi lebih sehat. Kinerja keuangan dapat dievaluasi berdasarkan laporan laba/rugi, laporan aruskas dan posisi modal perusahaan.
3.      Restrukturisasi manajemen/organisasi merupakan penyususnan ulang komposisi manajemen, struktur organisasi, pembagian kerja, sistem operasional, yang brkaitan dengan masalah manajerial dan keorganiasian. Dalam hal ini restrukturisasi manajerial/ organisasi perbaikan kinerja diperoleh melalui beberapa cara antara lain dengan pelaksanaan yang lebih efisien dan efektif, pembagian wewenang yang lebih baik sehingga keputusan tidak berbelit-belit dan kompetensi staf yang lebih mampu menjawab permasalahan di setiap unit kerja.
Robbin dan Conter (2005:4) mengemukakan bahwa “Perubahan organisasional  yakni setiap perubahan yang terkait dengan orang, struktur atau teknoalogi”. Dengan demikian tugas manajer itu akan relatif lebih gampang. Perencanaan juga akan menjadi sederhana karena masa depan tidak akan berbeda dengan hari ini. Masalah perancangan  organisasi yang efektif akan pula terpecahkan karena lingkungan akan bebas dari ketidak pastian dan tidak perlu beradaptasi.
Kekuatan-kekuatan yang mendorong perubahan organisasi yaitu kekuatan eksternal dan kekuatan internal. Kekuatan eksternal antara lain pasar, peraturan pemerintah, teknologi dan perubahan ekonomi, sedangkan kekuatan internal cenderung berasal dari operasi internal organisasi tersebut atau dari dampak perubahan-perubahan eksteernal. Kekuatan internal diantaranya modifikasi strategi organisasi, kerja yang dinamis, peralatan  baru dan sikap ketidakpuasan karyawan. Perubahan orang mengacu pada perubahaan sikap, penghargaan, persepsi dan perilaku karyawan. Perubahan struktur meliputi semua perubahan di bidang hubungan wewenang, mekanisme kordinasi, tingkat sentralisasi, perancangan ulang pekerjaan atau variabel struktural yang serupa. Sedangkan perubahan teknologi meliputi modifikasi cara kerja yang dilakukan atau metode dan peralatan yang digunakan.
Restruturisasi organisasi dalam arti sempit meliputi aspek organisasi, kerja sama operasional, sistem dan prosedur kerja, serta pendelegasian wewenang dan otonomi. Restrukturisasi dalam arti luas mencakup seluruh aspek yang di miliki perusahaan yang sangat mempengaruhi produktivitas perusahaan , yaitu meliputi sumber daya manusia, sumber daya keuangan, dan sumber daya lainnya termasuk sarana dan prasarana. Pengaruh restukturisasi terhadap pemberdayaan perusahaan menghasilkan kinerja perusahaan menjadi optimal, kerja sama yang kondusif serta sistem dan prosedur kerja yang dapat menunjang kelancaran operasional. penerapan pendelegasian wewenang dan otonomi yang sesuai dengan kebutuhan, dapat menciptakan inovasi dan kreativitas seluruh anggota organisasi di tingkat pimpinan, staf dan pelaksana.
Kinerja organisasi berarti kondisi kerja nyata yang di capai organisasi yang pada hakikatnya terdiri dari kumpulan prestasi individu dan kelompok. Sedangkan kerja sama operasional merupakan situasi kerja yang menggambarkan kondisi kerja sama yang harmonis dan komerati, sehingga situasi kerja menjadi kondusif. Berikutnya adalah sistem dan prosedur kerja yang berkaitan dengan penyusunan perencanaan pelaksanaan maupun dalam pengendalian. Dikaitkan dengan pendelegasian wewenang dan otonomi, yaitu merupakan kebijakan terhadap pelimpahan wewenang berbagai jenjang hierarkis . dalam kaitan ini, truktur organisasi di tata kembali, agar menjadi organisasi yang open system yaitu organisasi yang responsif dan adaptif terhadap perubahan, mampu menunjang kelancaran operasional, memiliki fleksibilitas tinggi, mampu melaksanakan pengendalian dan meningkatkan akuntabilitas. Untuk mengadakan perubahan organisasi, beberapa cara dapat dilakukan antara lain kerja sama operasi atau kontrak manajemen, konsolidasi, marger, pemecahan badan usaha, dan lain-lain.
Kerjasama operasi/kontrak manajemen di lakukan untuk meningkatkan pangsa pasar, kemampuan teknologi/operasi dan efisiensi pengelolaan perusahaan. Kerjasama operasi atau kontrak manajemen dapat di lakukan dengan ketentuan yang di rundingkan dan disepakati oleh pihak-pihak terkait. Pembenahan suato organisasi dapat di lakukan dari dalam, tidak perlu suntikan dari luar, karena mungkin orgaisasi telah memiliki potensi, tinggal bagaimana mengembangkannya. Yeng penting harus dapat mencari orang yang mempunyai jiwa wirausaha dan motivasi besar.
Adapun tujuan restrukturisasi organisasi menurut Goiullart dan Kelly (1995:7) adalah  “menyiapkan organisasi untuk dapat mencapai tingkat kompetisi yang digunakan, hal ini berhubungan dengan organisasi  yang ramping dan fit”. Organisasi Pemerintah sebagai organisasi publik yang telah mengadakan restukturisasi dimana struktur organisasinya disesuaikan dengan tujuan organisasi yaitu untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, maka akan berpengaruh terhadap kualitas pelayanan kepada masyarakat itu sendiri. Restrukturisasi tidak bisa dilihat hanya dari perampingan organisasi, SDM, atau kinerjanya saja  akan tetapi juga harus diperhatikan bahwa restukturisasi adalah sebuah sistem yang saling mempengaruhi satu sama dengan lainnya dalam pencapaian tujuan organisasi.
Menurut Sopiah, (2008: 72) alasan utama pegawai berusaha menghambat  terjadinya perubahan, yaitu:
1.      Direct Cost,  berkaitan dengan biaya yang harus ditanggung akibat adanya perubahan  karena perubahan membutuhkan biaya besar dan pegawai kawatir akan berkurangnya  pendapatan mereka.
2.      Saving Face, menunjukkan bahwa perubahan adalah keputusan yang salah.
3.      Fear of The Unknow, orang yang menghambat suatu perubahan karena mereka  khawatir tidak bisa menyesuaikan diri dengan organisasi baru.
4.      Breaking Routing, orang yang cenderung mempertahankan rutinitas karena mereka  telah nyaman dengan situasi yang ada.
5.      Incongruent Organizational Systems, sistem organisasi tidak mendorong terjadinya  perubahan yang berkaitan dengan penggajian/upah seleksi, pelatihan dan sistem kontrol.
6.      Incongruent Team Dynamics, tim perubahan dimaksudkan untuk menciptakan norma-normabaru yang mungkin kurang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
Faktor penghambat menurut Robbins (2008:344) adalah
1.      Sumber-sumber individual
a.       Kebiasaan,  untuk menghadapi kompleksitas kehidupan, manusia menggunakan kebiasaan atau respon yang terprogram.
b.      Rasa aman, orang yang memiliki kebutuhan akan rasa aman yang cukup besar cenderung menolak perubahan.
c.       Faktor-faktor ekonomi,  berbagai perubahan dalam tugas pekerjaan atau rutinitas pekerjaan yang telah pasti bisa menyebabkan munculnya ketakutan ekonomis .
d.      Takut pada hal yang belum diketahui, perubahan tak ubah seperti ambiguitas dan ketidakpastian mengenai hal-hal yang belum diketahui
e.       Pemrosesan informasi yang selektif,  individu bersalah karena secara selektif memproses informasi guna membuat persepsi mereka tetap utuh.
2.      Sumber-sumber organisasional
a.       Inersia struktural,  organisasi memiliki mekanisme tertentu seperti proses seleksi dan regulasi. Ketika suatu organisasi dihadapkan pada perubahan, inersia struktural bertindak selaku kekuatan penyeimbang yang mencoba mempertahankan stabilitas.
b.      Fokus perubahan yang terbatas,  organisasi terbangun dari sejumlah subsistem yang paling bergantung. Satu subsistem tidak dapat diubah tanpa mempangaruhi subsistem yang lain.
c.       Inersia kelompok,  jika individu-individu yang akan melakukan perubahan, berbagai norma kelompok akan menjadi penghambat dalam mendukung perubahan.
d.      Ancaman terhadap keahlian,  perubahan dalam suatu struktur organisasi dapat memberikan ancaman bagi kedudukan istimewa suatu kelompok ahli tertentu.
e.       Ancaman terhadap relasi yang sudah mapan, setiap wewenang pengambilan keputusan baru, dapat mengancam relasi yang sudah mapan dan berjalin lama dengan organisasi yang bersangkutan.
f.        Ancaman terhadap pengalokasian sumber daya yang sudah mapan,  kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya dalam proporsi yang besar sering kali melihat perubahan sebagai suatu ancaman. Mereka cenderung puas dengan apa yang sudah berjalan.

Perusahaan yang kondisi keuangannya kurang baik pada umumnya akan melakukan reorganisasi atau restrukturisasi. Terdapat beberapa istilah restrukturisasi, antara lain adalah :
1.      Restrukturisasi Yuridis : perubahan bentuk badan usaha, yaitu dari perusahaan perseorangan menjadi perseroan terbatas; atau dari BUMN menjadi swasta.
2.      Restrukturisasi Intern : perubahan struktur organisasi, misalnya dari banyak divisi menjadi sedikit divisi, tujuannya penghematan biaya organisasi. Makin banyak divisi, makin tinggi biayanya.
3.      Restrukturisasi Keuangan : perubahan struktur modal dan struktur harta karena perusahaan dalam kondisi senderung bangkrut atau cederung keuangannya tidak sehat.
Restrukturisasi keuangan dilakukan oleh perusahaan karena mengalami kesulitan liquiditas, dan menderita kerugian yang membahayakan kelangsungan hidup perusahaan. Kesulitan liquiditas disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian dan manajer keuangan kurang tepat mengalokasikan dana. Sedangkan kerugian disebabkan karena kurang mengelola pasar sehingga kalah dalam persaingan, manajemen kurang mampu mengelola biaya sehingga biaya operasi tidak efisien, dan manajer produksi kurang mampu mengelola proses produksi sehingga kualitas produk rendah.
Pada umumnya perusahaan dalam kondisi bahaya dan perlu direstrukturisasi jika besar kerugiannya kira-kira 50% dari modal sendiri. Kegiatan itu harus diatasi dengan mengadakan penataan kembali harta dan sumber pembiayaan. Untuk memudahkan pemahaman tentang restrukturisasi keuangan dibawah ini disajikan ilustrasi kkondisi perusahaan keuangan dibawah ini disajikan ilustrasi kondisi perusahaan yang dalam keadaan bahaya.
Ilustrasi Restrukturisasi Keuangan PT ABD
Perusahaan mengalami akumulasi kerugian sebesar 50% dari modal sendiri. Likuiditas perusahaan mulai terganggu, buruh mulai terlambat menerima upah setiap akhir minggu dan karyawan terlambat menerima gaji. Keadaan yang demikian mengakibatkan keresahan di dalam perusahaan. Di luar perusahaan, pemasok mengeluh karena tagihannya sulit dicairkan dan cicilan utang dan bunga bank terlambat dibayar. Keadaan yang demikian pemilik dan manajemen puncak mengadakan restrukturisasi keuangan agar perusahaan sehat kembali.
Data keuangan perusahaan adalah sebagai berikut :
Kerugian Rp 2.500 itu adalah berdasarkan nilai buku (nilai akuntansi) belum tentu menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Agar perusahaan sehat kembali, maka diadakan restrukturisasi keuangan, sebelumnya harus diadakan penilaian kembali atas harta sebagai berikut :
1.      Piutang dinilai Rp 700
2.      Persediaan dinilai Rp 300
3.      Aktiva tetap dinilai Rp 1.500
Setelah diadakan penilaian atas harta, maka kerugian perusahaan bertambah yaitu menjadi Rp 3.500 yaitu dari penurunan harta Rp 1.000 ditambah akumulasi kerugian Rp 2.500. Berikut ini disajikan neraca setelah diadakan revaluasi harta.
Untuk menyehatkan keuangan perusahaan maka manajemen memutuskan :
1.      Seluruh kerugian menjadi beban pemegang saham (ditanggung pemegang saham).
2.      Dibentuk cadangan perluasan 20%. Setelah manajemen memutuskan kebijakan
keuangan, maka dapat dihitung modal baru sebagai berikut :
X                     = Rp 5.000 – Rp 3.500 – 0,20X
1,20X              = Rp 1.500
X                     = Rp 1.250 (modal baru)
Cadangan        = 0,20 (Rp 1.250) = Rp 250
Neraca atau laporan posisi keuangan perusahaan sesudah restrukturisasi dapat disajikan berikut ini :
Keterangan :
a.       Modal saham berkurang (Rp 5.000 – Rp 1.250) = Rp 3.750
b.      Berkurangnya modal saham sebesar Rp 3.750 itu digunakan untuk : Menutup kerugian Rp 3.500, Membentuk cadangan Rp  250.
Setelah restrukturisasi, perusahaan dapat sehat kembali, jika diikuti :
1.      Kesadaran seluruh karyawan untuk meningkatkan pendapatan dan menghemat biaya.
2.      Kesadaran manajer dalam menetapkan visi yang jelas dan misi yang bertanggung jawab. Visi yang jelas yakni perusahaan ingin menjadi apa, artinya ingin menjadi pemimpin harga, atau ingin menjadi yang terbesar, atau ingin produknya berkualitas paling unggul. Sedangkan misi yang bertanggung jawab yakni seluruh karyawan dan manajemen harus mampu mencipta laba secara terus-menerus dari waktu ke waktu dan mendistribusikannya secara adil kepada pemilik perusahaan, manajemen dan karyawan.
3.      Perusahaan harus peka kepada setiap perubahan lingkungan eksternal dan internal.
4.      Karyawan harus loyal, bekerja aktif, efisien dan produktif, sehingga mampu menghasilkan laba dan tumbuh sepanjang waktu.



Sehubungan dengan restrukturisasi di Indonesia yang berkaitan dengan keluarnya keputusan menteri keuangan nomor 740 tahun 1989. Secara filosofis didasari oleh pemikiran bahwa perusahaan milik Negara atau milik Daerah semestinya dapat membiayai kebutuhannya sendiri sekaligus memperoleh keuntungan dari usaha yang dilakukan (peran ekonomis), disamping fungsi utamanya sebagai agen pemerintah  dalam rangka pelayanan kepada masayrakat (peran sosio politis) hal ini mengisyaratkan bahwa BUMN ini dituntut untuk meningkatkan fungsinya sebagai unit bisnis ( strategic buisnes unit ), berkaitan dengan ini maka pemerintah hendaknya lebih memperhatikan untuk mempertahankan BUMN yang di anggap vitas dan strategis. Sedang menurut BUMN yang terus merugi dan stagnasi tidak menutupkemungkinan untuk melakukan swastanisasi atau bahkan likuidasi.
Konsep swastanisasi di Indonesia, secara ideal memang tidak bisa ditolak lagi karena kemapuan pemerintah untuk memberikan subsidi semakin merendah, sedangkan efisiensi menjadi besar jika system pasar bebas dunia. Meskipun demikian, keputusan untuk menswastakan perusahaan public tetap harus selektif, artinya kesejahteraan masayratak kelas bahwah peningkatan  peran prilaku ekonomis  domestic, serta peningkatan daya saing antar pelaku ekonomi secara sehat, tetap harus menjadi tujuan akhir dari swastanisasi tersebut. Dalam hal ini penentan BUMN yang akan diswastanisasikan bukan BUMN yang bersifat strategis dan competevineess yang cukup baik dengan swasta (good performance) melainkan perusahaan yang jika dialihkan ke swasta akan meningkat produktivitasnya.
Sehubungan dengan kebijakan privatisasi tersebut maka Hisna dan Anogara (1995-41-46) minimal terdapat metode yang dapat dipilih, yaitu sebagai berikut:
1.      Penawaran BUMN kepada umum baik secara parisal maupun secara penuh
2.      Penjualan saham BUMN kepada pihak swasta tertentu
3.      Penjualan aktiva BUMN kepada swasta
4.      Reorganisasi BUMN menjadi beberapa unit usaha
5.      Penambahan investasi baru dari sector swasta
6.      Pembelian BUMN oleh manajemen atau karyawan
7.      Kontrak sewa dan kontrak manajemen
Sehubungan dengan kebijakan pemerintahyang tertuang dalam keputusan Menteri Keuangan Nomor 740 tahun 1989 seperti diutamakan dalam halaman terdahulu. Maka kebijkan swastanisasi sangat sesuai dengan upaya restrukturisasi dalam aspek status hukum. Artinya status hukum BUMN secara otomatis akan ikut berubah  sesuai dnegan perubahan kepemilkan modal yang banyak dikuasai oleh kelompok swasta.
Dan pada saatnya nanti, kebijakan swastanisasi ini juga akan besar pengaruhnya terhadap perubahan manajemen, struktur orgnisasi, prosedur kerja termasuk aspek pertanggung jawaban, disiplin karyawan dan sebagainya. Perubahan besar-besaran yang menjangkau seluruh aspek organisasi ini, dapat dilakukan sebagai strategi keberdayaan kepada organisasi beserta sumber daya manusia lain pendukungnya. Dengan kata lain restrukturisasi harus memberikan peluang sebesar-besarnya bagi pemberdyaan organisasi. 
Dalam kaitan ini , Bannis dan Mische (1995-45) pemberdayaan berarti menghilangkan batasan birokratis yang mengkotak kotakan orang dan membuat mereka menggunakan seefektif mungkinketerampilan , pengalaman dan ambisninya. Ini berarti mengembangkan mereka memiliki suatu perasaaan memiliki bagian-bagian dari proses, khusunya yang menjadi tanggung jawab mereka, sementara pada saat yang sama menuntut mereka menerima suatu bagian tanggung jawab dan kepemilikan yang lebih luas dari keseluruhan proses.
Munculnya konsep pemberdayaan ini pada awalnya merupakan gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subjek dari dunianya sendiri, oleh karena itu wajar bila konsep menampakan dua kecenderungannya.
Pertama, pemberdayaan menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan dan kemampuan kepada  masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya. Proses ini sering disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.
kedua, kecenderungan sekunder, menekankan kepada proses menstrimulasi, mendorong dan memotivsi individu agar mempunya kemampuan atau keberdayaan dan menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya . Pranarka (1996-56-57).
Dengan menetapkan suatu kebijakan mengenai swastanisasi merupakan suatu hal bentuk restrukturisasi secara berurutan akan menimbulkan dampak postitf meliputi seluruh aspek organisasi. Ini merupakan contoh konkret bahwa dalam adanya perubahan dalam dimensi mikro (eksternal) organisasi, maka harus diikuti dengan penyesuaian juga  dalam dimensi mikro (internal) organisasi. Satu hal yang harus menjadi dasar disini adalah bahwa setiap upaya restrukturisasi perusahaan milik Negara atau daerah hanya dapat dikatakan berhasil jika produktivitas organisasi maksimal disatu pihak.
Dan menghasilkan kemanfaatan bagi masyarakat di lain pihak. Atau restrukturisasi bisa dibilang berhasil jika secara riil organisasi yang terkena program restrukturisasi terindikasi dapat menunjukan indicator sehat ( misalnya : kemampuan menghasilkan keluaran berupa penambahan keuntungan bersih, penurunan jumlah subsidi pemerintah, pengurangan kebocoran/pemborosan dll). Yang secara bersamaan diikuti dengan berkurangnya keluhan masyarakat terhadap jasa yang diberikan.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh organisasai/perusahaan dalam memberdayakan organisasi atau perusahaanya, dan salah satunya adalah melakukan restrukturisasi, atau rekayasa ulang dan sejenisnya. Pada dasarnya tujuan utama keseluruhan upaya tersebut akan melakukan pemberdayaan organsisasi.

Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang mendapat awalan ber- yang menjadi kata “berdaya” artinya memiliki atau mempunyai daya. Daya artinya kekuatan, berdaya artinya memiliki kekuatan. Pemberdayaan artinya membuat sesuatu menjadi berdaya atau mempunyai daya atau mempunyai kekuatan. Pemberdayaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari empowerment dalam bahasa inggris.
Pemberdayaan sebagai terjemahan dari empowerment menurut Merrian Webster dalam Oxford English Dicteonary mengandung dua pengertian :
1.      To give ability or enable to, yang diterjemagkan sebagai member kecakapan/kemampuan atau memungkinkan.
2.      Togive power of authority to, yang berarti member kekuasaan.
Dalam konteks pembangunan istilah pemberdayaan pada dasarnya bukanlah istilah baru melainkan sudah sering dilontarkan semenjak adanya kesadaran bahwa factor manusia memegang peran penting dalam pembangunan.
Carlzon dan Macauley sebagaimana di kutip oleh Wasistiono (1998 :46) mengemukakan bahwa yang dimaksuh dengan pemberdayaan adalah sebagi berikut : “membebaskan seseorang dari kendali yang kaku, dan member orang kebebasan untuk bertanggung jawab terhadap ide-idenya, keputusan keputusannya dan tindakantidakanya.”
Sementara dalam sumber yang sama, Carver dan Clatter Back (1995 : 12) mendevinisikan pemberdayaan sebagai berikut “ upaya member keberanian dan kesempatan pada individu untuk mengambil tanggung jawab perorangan guna meningkatkan dan memberikan kontribusi pada tujuan organisasi.”
 Pemberdayaan sebagai terjemahan dari “empowerment” nenurut sarjana lain, pada intinya diartikan sebagai berikut. “membentu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan mementukan tindakan yanga akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan social dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui  peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain transfer daya dari lingkungan.”
Sementara Shardlow (1998 : 32) mengatakan pada intinya : “pemberdayaan membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka”
Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995).
Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin, 1987).
Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984).
Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya…Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994).
Richard Carver (Clutterbuck 2003:3), managing director  coverdale Organization, mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya mendorong dan memungkinkan individu-individu untuk mengemban tanggung jawab pribadi atas upaya mereka memperbaiki cara mereka melaksanakan pekerjaan-pekerjaan mereka dan menyumbang pada pencapaian tujuan-tujuan organisasi. Hal itu menuntut diciptakannya suatu budaya yang mendorong orang-orang di semua tingkat untuk merasa mereka bisa menghasilkan perubahan dan membantu mereka mendapatkan kpercayaan diri dan ketrampilan-ketrampilan untuk menghasilkan perubahan-perubahan itu.
Bowen dan Lawler dalam artikelnya “The empowerment of service workers:what, why, how, and when,” Sloan Management Review, Spring 1992, volume 33 no.3., menyebut bahwa pemberdayaan bukanlah :
1.      Delegasi.
David Oates menggariskan perbedaan antara delegasi dan pemberdayaan. ”Delegasi,” katanya, ” dilakukan oleh manajer. Pemberdayaan, jika berjalan dengan baik, dilakukan oleh bawahan.”
Jack Furrer, direktur pendidikan manajemen di perusahaan farmasi multinasional Ciba-Geigy di Swiss itu, sependapat : ”seringkali delegasi sama dengan dumping. Kadang-kadang ia lebih positif dan berupa suatu keseimbangan antara pengarahan  dan otonomi. Tetapi biasanya ia masih tidak memiliki unsur dukungan seperti yang dilibatkan oleh pemberdayaan.”
2.      Tanggung Jawab.
Tanggung awab sendiri bukanlah pemberdayaan, kata Paul Evans, profesor perilaku organisasional di sekolah bisnis Perancis INSEAD. ” pemberdayaan bukanlah sekedar masalah menyodorkan tanggung jawab lebih besar di suatu organisasi,” katanya. ” adalah goblok dan gila untuk melakukan hal itu pada orang-orang yang tidak memiliki ketrampilan-ketrampilan dan kompetensi-kompetensi untuk memegang kendali atas pekerjaan mereka.” John Nevin, CEO Firestone, ”Jika Anda ingin membuat gila seseorang, cara paling mudah untuk melakukannya adalah dengan memberi rasa tanggung jawab yang dalam, tetapi tanpa otoritas.”
Meskipun demikian, Evans dari INSEAD lebih menyukai istilah Perancis ”Responsabilization” daripada ”empowerment.” yang disebut belakangan itu, katanya, ”mengandung ciri keamerika-amerikaan yang paling jelek. Jika orang harus menggunakan istilah itu, saya lebih suka menggunakan istilah Perancisnya, yang tidak begitu emotif dan menerumuskan.”
3.      Trik Pemangkasan ongkos.
”Apakah orang-orang diberdayakan untuk mengembangkan bisnisnya atau mereka diminta untuk memangkas ongkos-ongkos dan membuahkan keuntungan-keuntungan jangka pendek?” tanya Bernard Taylor dari Henley Management College. ”Orang-orang tidak bodoh,” katanya:
Mereka membutuhkan suatu visi mengenai masa depan dan suatu jaminan bahwa pekerjaannya masih akan tetap ada dalam beberapa tahun mendatang. Ini menuntut komitmen untuk mengembangkan bisnis. Tetapi sekarang ini perusahaan-perusahaan mengalami masalah besar dalam memotivasi karyawan mereka dan membujuk mereka agar membangun komitmen. Itu terjadi karena serikat-serikat buruh sudah dibuat tidak berdaya, restrukturisasi besar-besaran telah mengakibatkan PHK besar-besaran, perusahaan-perusahaan diperdagangkan seperti komoditas, dan para manajer serta karyawan tidak tahu dari menit yang satu ke menit berikutnya apakah mereka masih memiliki pekerjaan. Pemberdayaan seringkali diperkenalkan dalam konteks mentalitas pendudukan masa perang.
Michael Osbaldeston, chief executive Ashridge Management College, menegaskan di depan peserta konferensi tahun 1993 mengapa ia menganggap pemberdayaan telah menjadi begitu penting akhir-akhir ini:
1.      Kecepatan perubahan yang semakin tinggi, turbulensi lingkungan, cepatnya respon persaingan dan akselerasi permintaan-permintaan pelanggan menuntut kecepatan dan fleksibilitas tanggapan yang tidak sudah tidak cocok dengan cara kerja organisasi dengan model kontrol dan komando gaya lama itu.
2.      Organisasi-organisasi sendiri tengah berubah. Akibat dari downsizing(perampingan), delayering(pemangkasan hierarki struktural), dan desentralisasi berarti bahwa metode-metode kuno pencapaian koordinasi dan kontrol tidak lagi sesuai. Upaya mencapai kinerja dalam situasi dan kondisi baru ini menuntut agar staff mengemban tanggung jawab yang jauh lebih besar.
3.      Organisasi-organisasi menuntut kerja yang lebih lintas fungsi(cross functional), kerja sama lebih padu di antara bidang-bidang, integrasi lebih baik dalam proses-proses jika organisasi yang bersangkutan ingin memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelanggan. Kerja sama seperti itu bisa  dicapai lewat pemberdayaan.
4.      Bakat manajerial yang benar-benar bagus semakin dipandang langka dan mahal. Menggunakannya untuk supervisi langsung terhadap staff yang mampu mengelola diri sendiri justru menambah kesulitan-keslitan yang sudah ada. Di pihak lain, pemberdayaan memungkinkan bakat manajerial untuk lebih difokuskan pada tantangan-tantangan eksternal dan bukan pada problem solving internal.
5.      Pemberdayaan bisa mengungkapkan sumber-sumber bakat manajerial, yang dulunya tidak dikenali, dengan menciptakan situasi dan kondisi dimana bakat bisa tumbuh subur.
6.      Staff tidak lagi disiapkan untuk menerima sistem-sistem kontrol dan komando yang kuno itu. Semakin luasnya ketersediaan pendidikan, penekanan lebih besar pada pengembangan sepanjang hidup, dan tujuan kepastian keamanan kerja dan peningkatan yang mantap telah menyumbang pada situasi di mana pekerjaan dinilai berdasarkan kesempatan-kesempatan pengembangan yang ditawarkan, bukan sebagai pekerjaan itu sendiri. Organisasi-organisasi yang gagal memenuhi aspirasi-aspirasi ini tidak akan memperoleh kinerja yang mereka tuntut dan staf terbaik mereka akan terus-menerus dibuat tak berdaya.


Pemberdayaan difokuskan ke karyawan, tingkat terbawah dalam setiap organisasi. Jika dalam organisasi tradisional, karyawan tidak diperhitungkan dalam pembagian kekuasaan (power distribution), dengan pemberdayaan karyawan, kekuasaan justru digali dari dalam diri karyawan
Pemberdayaan karyawan adalah pemberian wewenang kepada karyawan untuk merencanakan, mengendalikan, dan membuat keputusan tentang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, tanpa harus mendapatkan otorisasi secara eksplisit dari manajer di atasnya. Jika di dalam pendelegasian wewenang, kekuasaan diberikan oleh manajemen puncak kepada para manajer di bawahnya (bukan kepada karyawan), dalam pemberdayaan karyawan, kekuasaan digali dari dalam diri setiap karyawan melalui proses pemberdayaan karyawan (employee empowerment). Pemberian wewenang oleh manajemen kepada karyawan dilandasi oleh keberdayaan karyawan yang dihasilkan dari proses pemberdayaan yang dilaksanakan oleh manajemen terhadap karyawan.
Oleh karena pemberdayaan karyawan dilaksanakan dengan menggali potensi yang terdapat di dalam diri karyawan, maka pemberdayaan berarti pengembangan kekuasaan, bukan sekadar pendistribusian kekuasaan yang telah ada dan yang telah dimiliki oleh manajemen. Dengan kata lain, pemberdayaan karyawan memberikan keleluasaan kepada karyawan untuk melakukan perencanaan dan pengambilan keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka. Sedangkan pendelegasian wewenang memberikan  kekuasaan yang telah dimiliki oleh manajemen tingkat atas untuk didistribusikan ke manajemen di bawahnya.
Pemberdayaan pada dasarnya merupakan pelepasan atau pembebasan, bukan pengendalian energi manusia sebagaimana yang dilaksanakan dalam pendelegasian wewenang.
Pemberdayaan karyawan hanya akan terwujud jika dilandasi oleh tiga keyakinan dasar berikut ini:
1.      Subsidarity. Prinsip subsidiarity mengajarkan bahwa badan yang lebih tinggi kedudukannya tidak boleh mengambil tanggung jawab yang dapat dan harus dilaksanakan oleh badan yang berkedudukan lebih rendah. Dengan kata lain, mencuri tanggung jawab orang merupakan suatu kesalahan karena keadaan ini akhirnya menjadikan orang tersebut tidak terampil.
2.      Karyawan pada dasarnya baik. Inti pemberdayaan karyawan adalah keyakinan bahwa orang pada dasarnya baik. Pemberdayaan karyawan dapat dipandang sebagai pemerdekaan, karena dengan pemberdayaan, manajer tidak lagi menggunakan pengawasan, pengecekan, verifikasi, dan mengatur aktivitas orang yang bekerja dalam organisasi. Manajer melakukan pemberdayaan dengan memberikan pelatihan dan teknologi yang memadai kepada karyawan, memberikan arah yang benar, dan membiarkan karyawan untuk mengerjakan semua yang dapat dikerjakan oleh mereka.
Oleh karena konsep pemberdayaan dimulai dari keyakinan bahwa orang pada dasarnya ingin mengerjakan pekerjaan baik, manajer tidak perlu lagi menerapkan metode guna membujuk karyawan untuk mengerahkan usaha mereka. Manajer harus memastikan bahwa karyawan memiliki pengetahuan dan teknologi yang diperlukan untuk pekerjaan mereka, dan manajer harus mendukung usaha karyawan dengan menghilangkan hambatan apa pun yang mencegah terwujudnya kinerja unggul.
3.      Trust-based relationship. Pemberdayaan karyawan menekankan aspek kepercayaan yang diletakkan oleh manajemen kepada karyawan. Dari pemberdayaan karyawan, hubungan yang tercipta antara manajemen dengan karyawan adalah hubungan berbasis kepercayaan (trust-based relationship) yang diberikan oleh manajemen kepada karyawan, atau sebaliknya kepercayaan yang dibangun oleh karyawan melalui kinerjanya.
Dalam pendelegasian wewenang, manajer tingkat atas memiliki wewenang karena posisinya (position-basedpower)dan kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada manajer yang lebih rendah posisinya.Manajer yang lebih rendah ini juga menerima wewenang karena posisinya, sehingga dia pun memperoleh position-basedpower. Sedangkan di dalam pemberdayaan karyawan, karyawan memperoleh wewenang bukan berdasarkan posisinya, namun karena kinerjanya (performance-based power).Tanpa kinerja, karyawan tidak akan mampu menumbuhkan kepercayaan dalam diri manajemen, sehingga trust-based relationship tidak akan dapat terwujud.


BAB III

PENUTUP

Restrukturisasi merupakan tindakan atau kegiatan untuk merubah struktur perusahaan dengan tujuan untuk memperbaiki dan memaksimalisasi kinerja perusahaan. Restrukturisasi dilakukan setiap saat, bukan hanya bila perusahaan mengalami kemunduran saja tapi juga pada saat perusahaan mengalami kemajuan. Apabila perusahaan mengalami kemajuan, maka perusahaan akan melakukan perluasan usaha. Sedangkan bila perusahaan mengalami kemunduran, maka perusahaan akan melakukan penyempitan usaha.
Perluasan usaha dilakukan dengan cara merger dan akuisisi. Merger merupakan penggabungan dua perusahaan atau lebih, dan nama perusahaan tersebut merupakan salah satu nama perusahaan dari perusahaan yang bergabung. Sedangkan akuisisi adalah pengambil-alihan (takeover) sebuah perusahaan dengan membeli saham atau aset perusahaan tersebut, perusahaan yang dibeli tetap ada.
Ada beberapa alasan perusahaan melakukan penggabungan baik melalui merger maupun akuisisi, yaitu pertumbuhan atau diversifikasi, sinergi, meningkatkan dana, menambah ketrampilan manajemen atau teknologi, pertimbangan pajak, meningkatkan likuiditas pemilik, dan melindungi diri dari pengambil-alihan.
Penyempitan usaha dilakukan dengan cara reorganisasi dan likuidasi. Reorganisasi adalah suatu upaya untuk menjaga perusahaan tetap hidup dengan mengubah struktur modalnya (pemodelan ulang struktur modal). Sedangkan likuidasi yaitu proses penjualan aktiva non-kas dari persekutuan karena perusahaan persekutuan sudah tidak memungkinkan untuk melunasi kewajiban jangka pendek maupun jangka panjangnya dan operasional perusahaan juga sudah tidak menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA


Awang, San Afri, dkk. 1996. Program IDT dan Pemberdayaan Masyarakat.
            Bappenas.
Nugroho, Riant. 2003. Reinventing Pembangunan: Menata Ulang Paradigma    
            Pembangunan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan
            Global
. Jakarta: Kelompok Gramedia.
Prijono, Onny S.& A.M.W. Pranarka (eds.) 1996. Pemberdayaan: Konsep,
            Kebijakan dan Implementasi
. Jakarta: Centre for Strategic and
            International Studies.
Surjono, Agus & Trilaksono Nugroho. 2008. Paradigma, Model, Pendekatan
            Pembangunan, dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah
.
            Malang: Bayumedia Publishing.
Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan pemberdayaan Masyarakat.
            Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wibowo. 2012. Manajemen Perubahan Edisi Ketiga. Jakarta: PT Raja Grafindo
            Persada.



No comments:

Post a Comment