BAB
1
1.1.
Latar Belakang
Kekuasaan
selalu berada disekitar kehidupan kita. Kekuasaan berada diposisi seseorang
yang ada ditingkat hierarki atas. Di rumah ada pada posisi orangtua,
dimasyarakat ada pada orang yang dituakan, di birokrasi pemerintah ada pada
jabatan kepala, dan lain sebagainya. Mills menyebutnya pemegang kekuasaan itu
elite. Kekuasaan elite ini diterima oleh orang yang posisinya mmapu menunjukkan
kelebihan dari kebiasaan-kebiasaan orang
lain. Elite ini berada pada kedudukan yang bisa membuat keputusan dan
bertanggungjawab atas keputusannya itu. Apakah elite itu membuat atau tidak
membuat keputusan itu tidak penting dibandingkan dengan posisi kedudukannya
yang sangat penting. Kegagalannya dalam bertindak dan dalam membuat keputusan
merupakan suatu akibat yang mempunyai tanggungjawab yang besar dalam posisi
elite tersebut. Bagi elite seperti itu merupakan posisi yang memegang kendali
tertinggi dalam hierarki suatu organisasi modern. Elite merupakan manusia
pilihan dari kelompoknya. Pilihan akrena elite mempunyai kelebihan dibandingkan
dari orang-orang dikelompoknya. Elite semacam ini ada dan berada dimana-mana,
dalam organisasi besar maupun kecil. Elite bisa berupa dalam posisi pemimpin.
1.2.
Rumusan Masalah
1) Apa
yang dimaksud dengan pengaruh dan kekuasaan?
2) Apa
yang dimaksud dengan sumber kekuasaan dari kedudukan jabatan?
3) Apa
yang dimaksud dengan sumber kekuasaan dari kedudukan personal?
1.3.
Tujuan Penulisan
1) Untuk
memenuhi tugas mata kuliah Birokrasi
2) Memaparkan
materi mengenai kekuasaan birokrasi pemerintah
1.4.
Manfaat Penulisan
1) Menambah
pengetahuan pembaca mengenai kekuasaan birokrasi pemerintah
2) Sebagai
sumber referensi.
3) Menambah
wawasan bagi para pembaca.
BAB II
ISI
2.1 Pengaruh
dan kekuasaan
Pengaruh umumnya diterjemahkan dari influence,
dan kekuasaan diterjemahkan dari power. Kedua istilah ini menurut Gary
Yukl terdapat lebih banyak perbedaan konsep ketimbang hal-hal lain tentang
kepemimpinan. Pengaruh, kekuasaan, dan otoritas telah banyak digunakan dengan
cara penjelasan yang berbeda-beda oleh banyak penulis. Seringkan istilah ini
digunakan untuk menilai interpretasi yang berbeda, dan digunakan untuk
mempertimbangkan keberhasilan suatu pengaruh itu dievaluasi.
Pengaruh (influence) merupakan suatu kata yang
setiap orang kelihatannya memahami secara intuitif. Secara umum, pengaruh dapat
diartikan sebagai suatu akibat dari suatu agen ke agen (target) yang lain.
Namun demikian, pemahaman seperti inipun belum mencukupi, karena jika dilihat
dari pengamatan yang lebih dekat menunjukkan adanya ambiguitas dan kompleksitas
biarpun belum mecukupi, karena jika dilihat dari pengamatan yang lebih dekat
menunjukkan adanya ambiguitas dan kompleksitas biarpun dalam kasus yang lebih
sederhana. Dalam proses suatu agen berakibat kepada target bisa saja dilakukan
dalam berbagai bentuk dan cara. Pengaruh mungkin bisa terjadi atas manusia,
benda, atau peristiwa. Bagi kejadian pengaruh yang menimpa atas manusia, maka
pengaruh bisa berujud sikap, perilaku, persepsi, atau kombinasi dari hal-hal
tersebut. Konsekuensi bagi pengaruh agen bisa terjadi seperti yang diinginkan
oleh agen atau bisa juga tidak seperti yang diinginkan oleh agen.
Suatu pemerintahan tanpa kekuasaan yang melekat pada
dirinya bukan pemerintahan yang rasional, karena pemerintahan seperti itu tidak
berdaya untuk mengatur, menata, dan mengarahkan rakyatnya mau dibawa ke mana.
Kekuasaan merupakan kelengkapan yang membuat pemerintah berwibawa di hadapan
rakyatnya. Kekuasaan sebenarnya bukan hanya milik pemerintahan saja, melainkan
kekuasaan itu juga menghinggapi kehidupan seseorang sepanjang hidupnya.
Kekuasaan hinggap pula pada sebuah keluarga, pada setiap jenis pekerjaan, pada
jenis lingkungan hidup yang cenderung mengatur, memaksa, menata, dan
mangarahkan tanpa mereka sadari dan pahami. Dalam kehidupan manusia tanpa disengaja ataupun tidak mereka terlibat dalam
lingkaran kekuasaan pada jenis dan kadar yang berbeda satu sama lain. Kekuasaan
pada di sekitar kehidupan manusia. Manusia hidup bebas, akan tetapi manusia terikat
oleh kekuasaan yang hidup bersama kehidupan manusia.
Sumber kekuasaan di dalam suatu organisasi termasuk
organisasi pemerintahan terdapat pada banyak sumber.
Sumber kekuasaan
Posisi/Kedudukan
(kekuasaan)
|
:
Kewenangan formal
|
|
Kontrol atas sumber dan reward
|
|
Kontrol atas hukuman
|
|
Kontrol atas informasi
|
|
Kontrol atas ekologi
|
Personal
(kekuasaan)
|
:
Keahlian
|
|
Loyalitas/kedekatan
|
|
Karisma
|
Politik
(kekuasaan)
|
:
Kontrol atas proses pembuatan keputusan
|
|
Koalisi
|
|
Kooperasi (kerja sama)
|
|
Kelembagaan
|
2.2 Sumber
Kekuasaan dari Kedudukan Jabatan
Dari tabel diatas, dapat dijelaskan bahwa kekuasaan
itu bisa bersumber dari kedudukan atau jabatan seseorang dalam organisasi.
Dengan demikian, siapapun orangnya jika mendudukkan jabatan tertinggi dalam
suatu organisasi, maka orang tersebut mempunyai kekuasaan atas orang-orang atau
sumber-sumber yang berada dibawah kedudukan tersebut. Kekuasaan yang bersumber
dari kedudukan ini termasuk didalamnya kewenangan yang legitimate atau
sah mengendalikan atas semua sumber termasuk budget, personalia, sarana
prasarana, informasi, hukuman atau sanksi, dan mengendalikan ekologi yang
berada didalam organisasi yang ia pimpin.
Supaya lebih bisa dipahami efektivitas dari seorang
pemimpin atau pejabat birokrasi pemerintah dalam kaitannya dalam kekuasaan,
maka sangat perlu mempertimbangkan beberapa tipe tata hubungan kekuasaan (power
relationship). Tipe-tipe hubungan kekuasaan itu ada yang berupa hubungan
kekuasaan top-down atau downward power antara atasan dan bawahan,
ada juga yang bersifat bottom-up, atau upward power antara
kekuasaan yang ada pada subordinat (bawahan) ke atasan, ada juga yang berbentuk
lateral power yakni hubungan kekuasaan antara pemimpin dan orang-orang
dalam organisasinya. Dari tipe-tipe kekuasaan itu ada kesamaan sumbernya tetapi
ada juga perbedaannya tergantung pada tipe dan pola hubungannya.
Kekuasaan itu bermula dari kewenangan resmi (formal
authority), yang kadang-kadang juga sering disebut legitimate power (French,
dan Raven, 1959). Kewenangan atau otoritas diasarkan atas persepsi atas hak-hak
prerogatif, obligasi dan pertanggungjawaban yang dikaitkan dengan posisi khusus
didalam suatu organisasi atau didalam sistem sosial. Kewenangan termasuk
didalamnya hak yang melekat pada kedudukan seseorang yang mempengaruhi
aspek-aspek tertentu dari perilaku orang lain. pemegang posisi mempunyai hak
untuk membuat permintaan, instruksi atau perintah, sedangkan orang lain dalam
organisasi sebagai target instruksi mempunyai kewajiban untuk mematuhinya.
Sebagai contoh: Seorang pejabat birokrasi pemerintah mempunyai hak yang legitimate
membuat tata tertib dalam bekerja, atau memberikan pengarahan langsung yang
berpengaruh terhadap perilaku bawahannya. Sebaliknya bawahan juga mempunyai hak
yang legitimate untuk meminta informasi dan bantuan fasilitas dari
atasannya kepada orang-orang yang mempunyai hubungan lateral. Kewenangan juga
melibatkan hak seseorang untuk melakukan kontrol atas sesuatu hal seperti
diatas disinggung tentang sumber-sumber lainnya. Dan kontrol ini juga merupakan
sumber dari kekuasaan.
Dorongan atau motivasi untuk menaati peraturan yang
resmi atau legitimate dan menaati perintah ialah kemungkinan karena
didasarkan atas nilai internal seperti taat pada figur kewenangan, loyalitas
kepada organisasi, taat pada hukum, referensi pada tradisi, atau suatu kondisi
yang memang dibutuhkan oleh organisasi untuk taat bagi semua karyawan. Karyawan
menyetujui untuk taat pada aturan yang ditetapkan oleh atasannya karena
merupakan keuntungan bagi mereka (March dan Simon, 1958). Kondisi karyawan
diatur secara resmi dalam suatu organisasi untuk taat dan loyal didasarkan atas
kontrak yang disepakati atas kesepahaman bersama (mutual understanding). Kontak
sosial ini secara implisit juga merupakan dasar atau sumber yang utama dari authority.
Otoritas sangat diperlukan bagi suatu organisasi yang
besar seperti pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsinya secara lembut dan
efektif. Pola dari peran spesialisasi yang komplek dan peran hubungan
interdependensi dalam organisasi yang besar menjadi sangat penting bagi setiap
orang untuk memenuhi ekspektasinya. Pemenuhan ekspektasinya itu dilakukan dalam
sikap perbuatan yang reliable termasuk sikap menerima tugas yang tidak
menyenangkan dan peran yang tidak populer (Katz dan Kahn, 1978).
Penjelasan sumber kekuasaan dari posisi ini, di dalam
birokrasi pemerintah diperlakukan sangat kental sekali.Setiap orang siapapun
orangnya terutama dalam kaitannya dengan yang berasal dari kekuatan partai
politik, kompeten atau tidak, ahli atau tidak, dia adalah penguasa yang
mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur organisasinya. Hubungan antara
pimpinan politik itu dan kelompok jabatan karier yang mempunyai kelebihan
kompetensi, pengalaman dan keahlian dibandingkan dengan posisi pimpinan politik
tersebut terjadi hubungan pemegang kekuasaan dengan bawahannya. Hal ini membuat
tatahubunga birokrasi yang tidak halus dan efektif seperti yang dikatakan Katz
dan Kahn tersebut. Penelitian Dr.Azhari, 2009 dengan membandingkan hubungan
politik di Sulawesi Tenggara dengan di Sabah Malaysia menyatakan bahwa pada
umumnya jabatan birokrasi publik di Sabah khususnya dan Malaysia umumnya tidak
bisa diintervensi oleh kekuasaan politik. Sementasa di Sulawesi Tenggara
pimpinan politik seperti kepala daerah sangat mudah membawahi dan
mengintervensi jabatan birokrasi karier. Demikian pula penelitian Dr. Sjahrazad
Masdar, 2008 yang dilakukan di dua daerah yang berkarakter hampir bertolak
belakang di kota Surabaya yang modern dan kabupaten Situbondo yang masih
relatif tradisional fenomena intervensi politik ternyata sama-sama mewarnai
proses promosi dan depormosi sekretaris daerah di wilayah tersebut. Keberadaan
struktur dan prosedur formla yang seharusnya dijadikan sistem yang harus
diikuti dalam prosedur promosi dan depromosi jabatan karier ternyata pada
tataran empiris kerap di bypass oleh kepentingan politik dari pemegang
posisi penguasa.
Itulah sebabnya karena kepala daerah dicalonkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik belum pernah ada aturan yang
menetapkan bahwa kepala daerah itu tidak boleh ada sambungan hubungan politik
dengan partai politik yang mengusungnya. Selain itu, sumber kekuasaan dalam
tata administrasi pemerintahan kita masih mengutamakan pada posisi pimpinan,
maka kelaziman penguasa itu sangat menentukan jalannya administrasi
pemerintahan. Dengan demikian, selama belum ada aturan bahwa begitu kepala
daerah menjadi pejabat pemerintah/negara harus lepas dengan partai politiknya,
dan sumber kekuasaan tidak semata-mata pada posisi pimpinan, maka sulit
dihindari manajemen kekuasaan dijalankan secara manusiawi, lembut, dan efektif.
Hubungan partai politik melalui pejabat politik dalam
pemerintahan baik pusat maupun daerah belum diatur dengan tuntas. Jabatan
karier yang dijabat oleh PNS bisa saja sewaktu-waktu dapat digeser, dicopot,
dipindah, dan di non job oleh pejabat politik yang tidak menyukainya.
Alasan politiknya karena tidak mendukung dirinya sebagai calon kepala daerah
sewaktu kampanye. Kepala daerah mempunyai hak untuk mengatur tata administrasi
pemerintahannya seperti itu, karena mereka adalah pengusaha atau pimpinan
daerah. Gary Yukl (Leadership in Organization, 1981) yan dikutip
diatas, menyatakan bahwa kekuasaan (poliitical power) yang ada ditangan
kepala daerah seperti itu berhak mengatur organisasinya termasuk membina,
memecat, memindahkan, mengganti, dan non job – kan pegawai bawahannya.
Di negara yang sudah lebih maju dalam sistem demokrasi
pemerintahannya memisahkan jabatan politik (kita mengguakan jabatan negara)
dengan asal partai politiknya. Jika perdana menteri berasal dari partai
politik, maka ketika telah menjabat perdana menteri tidak ada lagi hubungannya
dengan partai politik yang mengusungnya. Hubungan natara pejabat negara
tersebut dan tatanan birokrasi pemerintah yang dijabat oleh seorang permanent
secretay (sekjen dikementerian kita) tidak ada lagi political
building block dalam sistem administrasi pemerintahannya dan bisa
melahirkan pemerintahan yang stabil.
Dibawah ini akan dipaparkan contoh kasus kekuasaan bersumber
kedudukan yang dikutip dalam buku Miftah Thoha (2016):
SBY
Sentil Kepala Daerah
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan kepada para jajaran
pemerintah untuk patuh kepada kebijakan pemerintah. Permintaan ini terkait
sejumlah kepala daerah yang ikut berdemonstrasi menolak rencana kenaikan
bahan bakar minyak (BBM).
“Saya
berharap, saudara semua ttap setia dan patuh terhadap kebijakan pemerintah
sesuai dengan UUD dan UU yang berlaku”, katanya saat memberikan keterangan di
Istana Negara, Sabtu (31/3 malam). Termasuk gubenur, bupati, dan wali kota.
Ia mengingatkan sumpah dan etika jabatan yang pernah mereka ucapkan ketika
diangkat sebagai kepala daerah.
Ia
mengingatkan saat Indonesia berada dalam perekonomian yang baik, para kepala
daerah menghadapi bersama. Ia pun meminta hal yang sama ketika perekonomian
Indonesia tidak berada dalam posisi tersebut. “Di berbagai waktu lalu saat
menghadapi krisis ekonomi kita dapat tumbuh baik. Karena itu seberat apapun
ekonomi yang kita hadapi kita bisa hadapi bersama-sama” katanya.
Selama
beberapa pekan terakhir aksi demonstrasi dibeebrapa tempat di Indonesia tidak
hanya dilakukan oleh para mahasiswa. Beberapa hari mereka justru memiliki
jbatan di pemerintahan. Contohnya, Wakil Wali Kota Solo dan Wakil Wali Kota
Surabaya serta beberapa bupati. Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi pun
sempat mengancam dan memperingatkan para kepala daerah untuk tidak ikut
demonstrasi. Karena dianggap melanggar sumpah jabatan. “Kalau menolak usulan
pemerintah pusat untuk menaikkan harga BBM, jangan gunakan atribut
pemerintah”, ujar Gamawan. Gamawan menerangkan, selain tidak memenuhi unsur
kepatutan, juga para kepala daerah tersebut dinilai melanggar etika
pemerintahan. Menurut dia daerah adalah subsistem dari penyelenggaraan
pemerintah pusat.sehingga kebijakan daerah itu tidak bisa bertolak belakang
dengan pusat.
Gamawan
mengatakan, jika kepala daerah tidak setuju dengan kenaikan BBM, lebih bak
menyuarakan aspirasi secara pribadi, bukan malah sampai memimpin aksi unjuk
rasa”. Karena, jika sudah menjadi bupati/walikota atau gubernur, dia
merupakan bagian dari sistem” (Dikutip dari harian Pagi Republika, Senin
tanggal 2 April 2012, hlm.9). Inilah politik kekuasaan yang dilakukan dalam
birokrasi pemerintahan.
|
2.3 Sumber
Kekuasaan dari Personal
Ada beberapa sumber kekuasaan dari personal ini,
antara lain :
1) Expert
power
Pada
umumnya, sumber utama kekuasaan dari atribut personal ini di dalam organisasi
ialah berada pada keahlian terutama didalam melaksanakan tugas yang paling
penting dan memecahkan persoalan. Bentuk kekuasaan ini disebut expert power
(french dan Raven, 1959). Keahlian merupakan sumber kekuasaan bagi seseorang
jika orang lain sangat tergantung pada keahlian orang itu untuk memberikan
saran, nasihat, atau bantuan yang dibutuhkan. Semakin besar masalah dan tugas
penting menjadi target seseorang, maka semakin besar pula kekuasaan yang berada
pada tangan seseorang yang memiliki keahlian tersebut. Ketergantungan akan
menjadi besar jika target seseorang kurang relevansi keahliannya dan tidak
mudah bisa diperoleh dari kualitas orang lain selain yang ahli tersebut
(patrchen, 1974; Hickson,Hinings, Lee, Schneck dan Pennings, 1971).
Selain
itu, target pun harus memahami bahwa ahli tersebut menjadi pemimpin nya sebagai
sumber informasi dan tempat meminta petunjuk dan nasihat. Kadang kala kesetiaan
seseorang yang menjadi target dalam kekuasaan keahlian ini sangat kuat untuk
meminta kesediannya untuk mematuhi tampa penjelasan dan pengarahan perilaku
sebelumnya.
Kesimpulannya
memahami keahlian seseorang pemimpin ialah lebih penting dari kenyataannya, dan
seorang ahli sebagi sumber kekuasaan tersebut haruslah senantiasa menjaga
kepercayaan dan berprilaku sesuai dengan keahliannya setiap saat. Namun jika
sewaktu waktu diperlukan pembuktian melalui test keahlian, maka hasilnya
haruslah membuktikan akurasinya.
Kepemimpinan
berlandasan pertemanan ini dalam peraktika political power sangat menonjol pada
akhir akhir ini. Seseorang bisa meningkat prestasi karis politiknya karena
pertemanan, loyalitas kolusi, dan persehabatan dalam tim kampanye calon
pemimpin politik. Dalam birokrasi pemerintahan hubungan pertemanan ini sangat
dikecam karena cendrung berbuat korup, dan tidak independen.
2) Referent
power
Selain
keahlian sumber kekuasaan personal ini bisa berupa pertemanan dan royalitas.
Bentuk kekuasaan seperti ini sering kali disebut referent power( french dan
reven, 1959). Seseorang merasa mempunyai hubungan akrab dalam pertemanan atau
adanya setia kawan dan loyaritas seseorang umumnya bersedia menjadi pendukung
istimewa nya bagi seseorang. Lebih dari itu, perilaku orang lalu menjadi intim
dan lebih dekat dengan seseorang yang dikagumi dan cendrung mengembangkan
kesamaan sikap dan perilaku dengan orang tersebut.
Referent
power seorang pemimpin atas subordinasinya tergantung pada kesetiaan kawan
pertemanan dan loyaritas yang dilakukan secara perlahan dalam periode yang
cukup lama. Referent power dari seorang pemimpin akan meningkat jika pemimpin
menunjukan sikap hubungan pertemanan dan senantiasa bersikap penuh perhatian,
menunjukan kepercayaan dan penghargaan (trust and respect), dan memperlakukan
orang orang secara adil dan terbuka. Sebaliknya referent power akan bisa sirna
jika pemimpin bersikap angkuh, arogan, sering menolak, dan tak bersahabat. Lebih
dari itu referent power tidak tampak lagi, sangat tergantung pada sikapnya dari
pada kata-katanya, dan pemimpin yang berusaha bersikap friendly akan tetapi
sering mmanipulasi dan mengekploitasi bawahannya akan kehilangan referent
power.
3) Karisma
Tidaklah
jelas sampai sekarang apakah karisma ini merupakan suatu hal yang bisa
dipertimbangkan sebagai pariasi dari referent power atau sebagi bentuk sumber
kekuasaan yang lain. Pengikut mengenal pemimpin yang karismatik ini dari
pengalaman dan daya tarik seorang pemimpin yang bersikap emosional. Proses
identifikasinya pada umumnya sangat cepat dan sangat intens dibandingkan dengan
kekuasaan yang bersumber dari pertemanan yang tidak karismatik. Atribut
pemimpin karismatik tidak bisa dipahami, tetapi ia tampak dalam sikap pemimpin
yang dramatis, pencitraan, pidato yang persuasif, gaya yang flamboyant,
antusiasme yang kuat, dan sikap meyakinkan yang hebat. Bersamaan dengan
kualifikasi sikap sikap seperti itu, kadangkala pemimpin karismatik
berpenampilan misterius, dipercaya pengikutnya untuk mencapai “victory”,
“succes” atau suatu “better world” (tata dunia yang lebih baik). Pemimpin
karismatik mempunyai pandangan untuk membangkitkan harapan, kebutuhan,
cita-cita, dan niali para pengikutnya supaya mampu menciptakan suatu visi dan
mendoraong komitmen kepada kebijakan dan strategi pemimpin. Visi pemimpin
dikomunikasikan dengan simbul, mitos, ritual, dan even yang mempesona. Daya
tarik pemimpin yang karismatik sekarang sudah mulai berkurang bersamaan dengan
semakin maju nya tingkat pendidikan seseorang dan perkembangan teknologi yang
semakin meningkat modernisasi.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Birokrasi
pemerintah merupakan garis terdepan yang berhubungan dengan pemberian umum
terhadap masyarakat. Oleh karena itu, birokrasi pemerintah harus bersikap
netral baik dari sisi politik yaitu bukan merupakan kekuasaan politik maupun
dari kekuasaan administrative. Birokrasi pemerintahan diharapkan tidak akan
memihak pada kelompok tertentu dengan tujuan agar pelayanan umum yang dilakukan
oleh pemerintah bisa diberikan kepada seluruh masyarakat, tanpa membedakan
aliran atau partai politik yang diikuti anggota masyarakat tertentu.
Suatu
pemerintahan tanpa kekuasaan yang melekat pada dirinya bukan pemerintahan yang
rasional, karena pemerintahan seperti itu tidak berdaya untuk mengatur, menata,
dan mengarahkan rakyatnya mau dibawa ke mana. Kekuasaan merupakan kelengkapan
yang membuat pemerintah berwibawa di hadapan rakyatnya. Kekuasaan sebenarnya
bukan hanya milik pemerintahan saja, melainkan kekuasaan itu juga menghinggapi
kehidupan seseorang sepanjang hidupnya
3.2
Saran
Untuk
membangun bangsa yang bermartabat, harus dilakukan bersama oleh pemerintah dan
masyarakat dalam menciptakan pemerintah yang lebih baik dari able government
ke better government dan trust government tanpa adanya penyelewengan kekuasaan yang
dilakukan oleh pihak manapun. Selain itu, diharapkan masyarakat dapat lebih
parsitipatif dalam pelaksanaan birokrasi pemerintahan, prinsip-prinsip good
governance, pelayanan publik, penyelenggaraan dan pembangunan yang baik,
bersih, dan berwibawa, serta pencegahan dan percepatan pemberantasan korupsi.
Sehingga cita-cita bangsa Indonesia dapat terwujud dengan adanya kerjasama yang
baik antar pemerintah dengan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Thoha, Miftah. 2016. Birokrasi
dan Dinamika Kekuasaan. Jakarta: Prenadamedia Group.
Thoha, Miftah. 2011. Birokrasi
dan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Rodee, Cariton
Clymer,dkk. 2013. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: Rajawali Pers
Soekanto, Soerjono &
Budi Sulistyowati. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajagrafindo Persada
No comments:
Post a Comment