Pages

Monday, August 19, 2019

MAKALAH ZAKAT DAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Dalam melaksanakan pembangunan pemerintah membutuhkan dana untuk pemenuhan hal-hal yang dibutuhkan, dana tersebut diambil oleh pemerintah melalui pajak yang diambil dari masyarakat sehingga pajak ini menjadi salah satu kewajiban masyarakat. Namun di sisi lain, selain adanya kewajiban untuk membayar pajak, masyarakat yang beragama Islam mempunyai kewajiban lain yang harus ditunaikan yaitu membayar zakat.
Kedudukan zakat penting dalam kehidupan manusia karena merupakan bentuk pelaksanaan interaksi manusia sebagai makhluk sosial dan juga mendorong manusia untuk berusaha mendapatkan harta benda sehingga dapat menunaikan kewajibannya berzakat sebagai bukti pelaksanaan rukun Islam.
Zakat dan pajak merupakan dua hal yang penting dan tidak dapat dipungkiri keberadaannya dalam kehidupan masyarakat sehingga timbul permasalahan mengenai hal mana yang harus lebih diutamakan.
Oleh karena itu, penyusun akan mencoba memaparkan lebih jauh lagi mengenai zakat dan pajak ini dalam makalah kami yang berjudul Zakat dan Pajak dalam Perspektif Hukum Islam.





B.      Identifikasi Masalah
Dengan melihat latar belakang yang telah penyusun paparkan sebelumnya, maka ada beberapa hal yang akan penyusun bahas dalam makalah ini, diantaranya:
1.       Apa pengertian Zakat dan Pajak?
2.       Apakah orang yang membayar zakat harus membayar pajak, dan sebaliknya, atau harus membayar kedua-duanya?
3.       Bagaimana pendapat ulama tentang kewajiban membayar zakat dan pajak tersebut?

C.      Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain:
1.       Mengetahui pengertian zakat dan pajak.
2.       Mengetahui orang yang membayar zakat harus membayar pajak, dan sebaliknya, atau harus membayar kedua-duanya.
3.       Mengetahui pendapat ulama tentang kewajiban membayar zakat dan pajak tersebut.

D.      Kerangka Pemikiran
Pajak dan zakat sama-sama penting, namun mana diantara salah satunya yang harus didahulukan, atau mungkin seseorang yang telah membayar zakat kehilangan kewajibannya untuk membayar zakat dan sebaliknya ataukah orang tersebut harus membayar kedua-duanya.

E.       Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan, penyusun menggunakan beberapa metode, antara lain :


1.       Studi pustaka
Pada metode ini, kami membaca buku-buku dan literatur yang berhubungan dengan penyusunan makalah ini.
2.       Pemikiran
Kami mencoba untuk belajar mengungkapkan pemikiran kami sendiri dan kemudian kami tuangkan pada makalah ini.
3.   Jaringan Informasi
Kami menggunakan jaringan informasi berupa internet guna menambah nilai lebih dari makalah ini.

F.       Sistematika
         BAB I       PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, Identifikasi Masalah, Tujuan, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika.

        BAB II      ZAKAT DAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
                                 Pada bab ini penyusun membahas isi dari identifikasi diantaranya Pengertian Zakat dan Pajak, kewajiban dalam pembayaran keduanya dan pendapat para ulama tentang hal tersebut.

            BAB III    ANALISIS MASALAH
                                 Penyusun berusaha untuk memaparkan pemikiran yang didasarkan pada pembahasan yang dikemukakan pada bab II, diantaranya tentang Pengertian Zakat dan Pajak, kewajiban dalam pembayaran keduanya dan pendapat para ulama tentang hal tersebut.
         BAB IV    PENUTUP
                           Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran dari penyusun.



















BAB II
ZAKAT DAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A.      Pengertian Zakat dan Pajak
Zakat menurut bahasa adalah suci dan subur. Zakat menurut istilah syara’ ialah kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat.[1]
Zakat adalah kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban tersebut terkena kepada setiap muslim (baligh atau belum, berakal atau gila) ketika mereka memiliki sejumlah harta yang sudah memenuhi batas nisabnya.
Sedangkan mengenai pajak, terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah:
Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak

rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
Sedangkan menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.[2]
Adapun perbedaan antara pajak dan zakat ini diantaranya:
Pertama, zakat merupakan manifestasi ketaatan ummat terhadap perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang warganegara kepada ulil amrinya (pemimpinnya).

Kedua, zakat telah ditentukan kadarnya di dalam Al Qur’an dan Hadits, sedangkan pajak dibentuk oleh hukum negara.

Ketiga, zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin sedangkan pajak dikeluarkan oleh setiap warganegara tanpa memandang apa agama dan keyakinannya.

Keempat, zakat berlaku bagi setiap muslim yang telah mencapai nishab tanpa memandang di negara mana ia tinggal, sedangkan pajak hanya berlaku dalam batas garis teritorial suatu negara saja.

Kelima, zakat adalah suatu ibadah yang wajib di dahului oleh niat sedangkan pajak tidak memakai niat. Dan sesungguhnya masih banyak lagi hal-hal yang membedakan antara zakat dan pajak.[3]

B.      Kewajiban Membayar Zakat dan Pajak
1.       Landasan Kewajiban Membayar Zakat
Zakat adalah rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua Hijriyah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat Fitrah. Ayat-ayat zakat, shodaqah dan infaq yang turun di Makkah baru berupa anjuran dan penyampaiannya menggunakan metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan cacian atau teguran bagi yang meninggalkannya.
Landasan kewajiban mewmbayar zakat diantaranya:
AL QUR'AN
􀂃 Surat Al-Baqaraah ayat 43: Artinya: "Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan ruku'lah bersama dengan orang-orang yang ruku'".
􀂃 Surat At-Taubah ayat 103: Artinya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah mereka karena sesungguhnya do'amu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
􀂃 Surat Al An'aam ayat 141: Artinya: "Makanlah buahnya jika telah berbuah dan tunaikan haknya (kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)".
AS-SUNNAH
􀂃 Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari

Abdullah bin Umar: Artinya: "Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah, menegakkan shalat, membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan".
􀂃 Hadist diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang-orang fakir tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali
karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih".
2.       Landasan Kewajiban Membayar Pajak
Di dalam Hukum Islam, Dasar membayar pajak itu hukumnya adalah wajib, berdasarkan kepada ayat Al-Qur’an Surat At-Taubah : 29.
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah), yaitu orang-orang yang diberi Al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar "Jizyah" dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk."
Pembebanan kewajiban membayar pajak hanyalah terhadap kaum laki-laki dan kaum Hawa yang normal, sedangkan orang yang tidak mampu, dibebaskan dari kewajiban tersebut. Pembebanannya pun disesuaikan dengan status sosial dan kondisi keuangannya.[4]
Dalam pengaturan pajak tersebut haruslah sesuai dengan Undang-undang, yaitu pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
C.      Pendapat para ulama tentang kewajiban membayar Zakat dan Pajak
Islam adalah agama yang  anti kedzaliman. Pengutipan pajak tidak dapat dilakukan sembarangan dan sekehendak hati penguasa. Pajak yang diakui dalam sejarah fiqh Islam dan sistem yang dibenarkan harus memenuhi beberapa syarat  yaitu :
1. Benar–benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain.
Pajak itu boleh dipungut apabila negara memang benar – benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy.
Para ulama dan para ahli fatwa hukum Islam menekankan agar memperhatikan syarat ini sejauh mungkin. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila Baitul Mal benar – benar kosong. Para ulama benar – benar sangat hati – hati dalam mewajibkan  pajak kepada rakyat, karena khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara melakukan korupsi hasil  pajak.

2. Pemungutan Pajak yang Adil.
                Apabila pajak itu benar-benar dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pengutipan pajak, bukan saja boleh, tapi wajib dengan syara. Tetapi harus dicatat, pembebanan itu harus adil dan tidak memberatkan. Jangan sampai menimbulkan keluhan dari masyrakat. Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan.
3. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat dan hawa nafsu.




4. Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak.
Kepala negara,  wakilnya, gubernur atau pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak, menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.[5]
Sedangkan mengenai pembayaran zakat, para ulama telah sepakat akan kewajiban zakat dan bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.















BAB III
ANALISIS MASALAH

A.      Pengertian Zakat dan Pajak
Secara bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak. Allah berfirman disurat At-Taubah ayat 103, artinya: "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka". Surat Al-Baqaraah 276, artinya: "Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah". Disebutkan dalam hadist Rasulullah saw yang diriwatkan Bukhari dan Muslim, ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore :
Artinya: "Ya Allah berilah orang berinfak gantinya". Dan berkata yang lain: "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak kehancuran".
Sedangkan menurut terminology Syari'ah zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu.
Yang dimaksud dengan pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Baik pajak maupun zakat, pelaksanaan keduanya haruslah sesuai dengan tujuan dari ekonomi Islam yang sesungguhnya yaitu untuk:



a.     Mewujudkan ekonomi umat yang makmur dengan melaksanakan produksi barang dan jasa dengan kuantitas dan kualitas yang cukup guna memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani dalam rangka menumbuhkan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi secara serasi dan seimbang.
b.       Mewujudkan kehidupan ekonomi umat yang adil dan merata dengan jalan melaksanakan distribusi barang, jasa, kesempatan, kekuasaan dan pendapatan masyarakat secara jujur, terarah dan selalu meningkatkan keadilan serta pemerataannya.
c.       Mewujudkan kehidupan ekonomi umat yang serasi, bersatu, damai dan maju, dalam suasana kekeluargaan sesama umat dengan jalan menghilangkan nafsu untuk menguasai dan menumpuk harta.
d.       Mewujudkan kehidupan ekonomi umat yang menjamin kemerdekaan, baik dalam memilih jenis barang dan jasa, memilih sistem jenis dan organisasi produksi, maupun memilih sistem distribusi sehingga tingkat partisipasi masyarakat dapat dikerahkan secara maksimal dengan meniadakan penguasaan berlebihan dari sekelompok masyarakat serta menumbuhkan sikap kebersamaan.
e.       Mewujudkan kehidupan ekonomi yang tidak menimbulakn kerusakan di bumi, sehingga kelestarian alam dapat dijaga baik alam fisik, kultural, sosial maupun spiritual.
f.        Mewujudkan kehidupan ekonomi yang mandiri tanpa ketergantungan kepada kelompok masyarakat lain.[6]

B.      Kewajiban Membayar Zakat dan Pajak

Baik membayar zakat maupun membayar pajak hukumnya adalah wajib. Aturan mengenai keduanya bisa kita lihat dalam Al-Qur’an. Namun, jika kita mempertanyakan mana yang harus didahulukan, maka kita dapat berpikir terbuka terbuka dengan mengandalkan akal dan rasional. Kita memiliki dua kewajiban yang melekat pada penghasilan kita, yaitu kewajiban membayar Pajak dan kewajiban mengeluarkan Zakat. Pajak merupakan kewajiban kita terhadap negara atau Pemerintah, sedangkan Zakat merupakan kewajiban kita sebagai seorang muslim terhadap Allah SWT. Secara hirarki, bentuk pertanggungjawaban yang paling tinggi adalah kepada Allah SWT. Dengan menggunakan logika yang sama, maka yang harus kita tunaikan lebih dahulu adalah mengeluarkan Zakat dari penghasilan kita, baru setelah itu membayar Pajak ke negara.
C.    Pendapat para ulama tentang kewajiban membayar Zakat dan Pajak
Membayar pajak itu hukumnya wajib, karena memang aturannya pun secara jelas tercantum di dalam Al-Qur’an. Sedangkan mengenai kewajiban membayar pajak, Menurut Syeikh Muhammad Yusuf Qardhawy, pajak itu boleh dipungut apabila negara benar-benar membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Pembayaran pajak dapat juga dibenarkan dalam syari’at Islam karena memiliki beberapa konsideran:
1.  Solidaritas sosial dan tolong menolong sesama muslim dan sesama umat manusia merupakan kewajiban. Allah berfirman dalam surat Al_maidah ayat 2, artinya: "Dan olong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".
2. Sasaran zakat terbatas sedangkan kebutuhan negara tidak terbatas. Para ahli fiqh tidak boleh mercampur adukkan harta zakat dengan pajak. Berkata Abu Yusuf: "Tidaklah layak kiranya harta kharaj (pajak bumi) digabungkan dengan harta zakat, karena harta kharaj adalah harta rampasan untuk seluruh kamu muslimin, sedangkan harta zakat diperuntukkan bagi mereka yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Para ulama berkata: "Zakat tidak boleh digunakan untuk membangun jembatan, perbaikan jalan, membuat sungai, pembuatan masjid, sekolah, pengairan dan bendungan".
3. Kaidah-kaidah Umum Hukum Syara'. Banyak sekali kaidah yang dapat dipakai untuk melegalisasi pembayaran pajak, diantaranya Maslahah Mursalah.
4. Kebutuhan untuk biaya jihad dengan segala kaitannya.
5.  Kerugian dibayar dengan keuntungan, yaitu ketika umat Islam membayar pajak, dia dapat merasakan hasil pajak tersebut lewat pembangunan dan keamanan.




















BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.      KESIMPULAN
1.       Zakat menurut bahasa adalah suci dan subur. Zakat menurut istilah syara’ ialah kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang, sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapatkan balas jasa secara langsung.
2.       Baik zakat maupun pajak pembayarannya bersifat wajib, dan orang yang sudah membayar zakat wajib pula membayar pajak, begitupun sebaliknya.
3.       para ulama berpendapat bahwa zakat itu wajib dibayarkan, sedangkan pajak itu boleh diambil apabila kas negara benar-benar dalama keadaan kosong.

B.      SARAN
1.       Zakat dan pajak diwajibkan bagi umat Islam, tetapi kewajiban pajak harus diberikan keringanan, sehingga tidak memberatkan karena dua kali beban.
2.       Masyarakat sebaiknya bersikap lebih seimbang baik terhadap pembayaran zakat maupun terhadap pembayaran pajak, karena keduanya merupakan kewajiban.
3.       Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan syarat-syarat pemungutan pajak yang telah dirumuskan oleh para ulama demi terwujudnya keadilan dalam masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Lubis, Ibrahim, 1995, Ekonomi Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Yusuf, Ali Anwar 2005, Afeksi Islam, Bandung: Tafakur.

Undang-Undang:
Undang-Undang Dasar 1945

Sumber lain:
Wikipedia Indonesia/Ensiklopedia bebas
Ensiklopedia Islam/Fiqh/Pajak&Zakat




[1] Ibrahim Lubis, 1995, Ekonomi Islam, Jakarta: Kalam Mulia, Hal: 729.



[2] Wikipedia Indonesia
[3] Ensiklopedia Islam/Fiqh/Pajak&Zakat
[4]www.google.com/zakat+pajak
[5] ibid
[6] Ali Anwar Yusuf, 2005, Afeksi Islam, Bandung: Tafakur, Hal:200-201.

No comments:

Post a Comment