BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam melaksanakan pembangunan pemerintah membutuhkan dana
untuk pemenuhan hal-hal yang dibutuhkan, dana tersebut diambil oleh pemerintah
melalui pajak yang diambil dari masyarakat sehingga pajak ini menjadi salah
satu kewajiban masyarakat. Namun di sisi lain, selain adanya kewajiban untuk
membayar pajak, masyarakat yang beragama Islam mempunyai kewajiban lain yang
harus ditunaikan yaitu membayar zakat.
Kedudukan zakat penting dalam kehidupan manusia karena
merupakan bentuk pelaksanaan interaksi manusia sebagai makhluk sosial dan juga
mendorong manusia untuk berusaha mendapatkan harta benda sehingga dapat
menunaikan kewajibannya berzakat sebagai bukti pelaksanaan rukun Islam.
Zakat dan pajak merupakan dua hal yang penting dan tidak
dapat dipungkiri keberadaannya dalam kehidupan masyarakat sehingga timbul
permasalahan mengenai hal mana yang harus lebih diutamakan.
Oleh karena itu, penyusun akan mencoba memaparkan lebih jauh
lagi mengenai zakat dan pajak ini dalam makalah kami yang berjudul Zakat dan
Pajak dalam Perspektif Hukum Islam.
B.
Identifikasi Masalah
Dengan
melihat latar belakang yang telah penyusun paparkan sebelumnya, maka ada
beberapa hal yang akan penyusun bahas dalam makalah ini, diantaranya:
1. Apa pengertian Zakat dan Pajak?
2. Apakah orang yang membayar zakat
harus membayar pajak, dan sebaliknya, atau harus membayar kedua-duanya?
3. Bagaimana pendapat ulama tentang
kewajiban membayar zakat dan pajak tersebut?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini, antara lain:
1. Mengetahui pengertian zakat dan
pajak.
2. Mengetahui orang yang membayar zakat
harus membayar pajak, dan sebaliknya, atau harus membayar kedua-duanya.
3. Mengetahui pendapat ulama tentang
kewajiban membayar zakat dan pajak tersebut.
D.
Kerangka Pemikiran
Pajak
dan zakat sama-sama penting, namun mana diantara salah satunya yang harus
didahulukan, atau mungkin seseorang yang telah membayar zakat kehilangan
kewajibannya untuk membayar zakat dan sebaliknya ataukah orang tersebut harus
membayar kedua-duanya.
E.
Metode Penelitian
Untuk
mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan, penyusun menggunakan beberapa
metode, antara lain :
1. Studi pustaka
Pada
metode ini, kami membaca buku-buku dan literatur yang berhubungan dengan
penyusunan makalah ini.
2. Pemikiran
Kami
mencoba untuk belajar mengungkapkan pemikiran kami sendiri dan kemudian kami
tuangkan pada makalah ini.
3.
Jaringan Informasi
Kami
menggunakan jaringan informasi berupa internet guna menambah nilai lebih dari
makalah ini.
F.
Sistematika
BAB
I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, Identifikasi
Masalah, Tujuan, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika.
BAB II ZAKAT DAN
PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Pada
bab ini penyusun membahas isi dari identifikasi diantaranya Pengertian Zakat
dan Pajak, kewajiban dalam pembayaran keduanya dan pendapat para ulama tentang
hal tersebut.
BAB III ANALISIS
MASALAH
Penyusun
berusaha untuk memaparkan pemikiran yang didasarkan pada pembahasan yang
dikemukakan pada bab II, diantaranya tentang Pengertian Zakat dan Pajak,
kewajiban dalam pembayaran keduanya dan pendapat para ulama tentang hal tersebut.
BAB IV PENUTUP
Bab
ini terdiri dari kesimpulan dan saran dari penyusun.
BAB II
ZAKAT DAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
A. Pengertian Zakat dan Pajak
Zakat
menurut bahasa adalah suci dan subur. Zakat menurut istilah syara’ ialah kadar
harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa
syarat.[1]
Zakat
adalah kewajiban atas harta yang bersifat mengikat dan bukan anjuran. Kewajiban
tersebut terkena kepada setiap muslim (baligh atau belum, berakal atau gila)
ketika mereka memiliki sejumlah harta yang sudah memenuhi batas nisabnya.
Sedangkan
mengenai pajak, terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang
"pajak" yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah:
Menurut
Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali
yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.
Menurut
Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa
timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang
berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak
rakyat
kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan
untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
investment.
Sedangkan
menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R, pajak
adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan
akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional,
agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan
pemerintahan.[2]
Adapun
perbedaan antara pajak dan zakat ini diantaranya:
Pertama,
zakat merupakan manifestasi ketaatan ummat terhadap perintah Allah SWT dan
Rasulullah SAW sedangkan pajak merupakan ketaatan seorang warganegara kepada
ulil amrinya (pemimpinnya).
Kedua, zakat
telah ditentukan kadarnya di dalam Al Qur’an dan Hadits, sedangkan pajak
dibentuk oleh hukum negara.
Ketiga,
zakat hanya dikeluarkan oleh kaum muslimin sedangkan pajak dikeluarkan oleh
setiap warganegara tanpa memandang apa agama dan keyakinannya.
Keempat,
zakat berlaku bagi setiap muslim yang telah mencapai nishab tanpa memandang di
negara mana ia tinggal, sedangkan pajak hanya berlaku dalam batas garis
teritorial suatu negara saja.
Kelima,
zakat adalah suatu ibadah yang wajib di dahului oleh niat sedangkan pajak tidak
memakai niat. Dan sesungguhnya masih banyak lagi hal-hal yang membedakan antara
zakat dan pajak.[3]
B. Kewajiban Membayar Zakat dan Pajak
1.
Landasan Kewajiban Membayar Zakat
Zakat adalah
rukun Islam ketiga yang diwajibkan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua
Hijriyah setelah diwajibkannya puasa Ramadhan dan zakat Fitrah. Ayat-ayat
zakat, shodaqah dan infaq yang turun di Makkah baru berupa anjuran dan
penyampaiannya menggunakan metodologi pujian bagi yang melaksanakannya dan
cacian atau teguran bagi yang meninggalkannya.
Landasan
kewajiban mewmbayar zakat diantaranya:
AL QUR'AN
Surat Al-Baqaraah ayat 43: Artinya:
"Dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat dan ruku'lah bersama dengan orang-orang yang ruku'".
Surat At-Taubah ayat 103: Artinya:
"Ambilah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan do'akanlah
mereka karena sesungguhnya do'amu dapat memberikan ketenangan bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Surat Al An'aam ayat 141: Artinya:
"Makanlah buahnya jika telah berbuah
dan tunaikan haknya (kewajibannya) dihari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan
zakatnya)".
AS-SUNNAH
Rasulullah SAW bersabda yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari
Abdullah bin Umar: Artinya: "Islam dibangun atas lima rukun: Syahadat
tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad saw utusan Allah, menegakkan shalat,
membayar zakat, menunaikan haji dan puasa Ramadhan".
Hadist diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dari Ali ra: Artinya: "Sesungguhnya
Allah mewajibkan (zakat) atas orang-orang kaya dari umat Islam pada harta
mereka dengan batas sesuai kecukupan fuqoro diantara mereka. Orang-orang fakir
tidak akan kekurangan pada saat mereka lapar atau tidak berbaju kecuali
karena ulah orang-orang kaya diantar mereka. Ingatlah bahwa
Allah akan menghisab mereka dengan keras dan mengadzab mereka dengan pedih".
2.
Landasan Kewajiban Membayar Pajak
Di
dalam Hukum Islam, Dasar membayar pajak itu hukumnya adalah wajib, berdasarkan
kepada ayat Al-Qur’an Surat At-Taubah : 29.
"Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian
dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan
tidak beragama dengan agama yang benar (Agama Allah), yaitu orang-orang yang
diberi Al-kitab kepada mereka, sampai mereka membayar "Jizyah" dengan
patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk."
Pembebanan
kewajiban membayar pajak hanyalah terhadap kaum laki-laki dan kaum Hawa yang
normal, sedangkan orang yang tidak mampu, dibebaskan dari kewajiban tersebut.
Pembebanannya pun disesuaikan dengan status sosial dan kondisi keuangannya.[4]
Dalam
pengaturan pajak tersebut haruslah sesuai dengan Undang-undang, yaitu pasal 23
UUD 1945 yang berbunyi: “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang”.
C. Pendapat para ulama tentang kewajiban membayar Zakat dan
Pajak
Islam
adalah agama yang anti kedzaliman.
Pengutipan pajak tidak dapat dilakukan sembarangan dan sekehendak hati
penguasa. Pajak yang diakui dalam sejarah fiqh Islam dan sistem yang dibenarkan
harus memenuhi beberapa syarat yaitu :
1.
Benar–benar harta itu dibutuhkan dan tak ada sumber lain.
Pajak
itu boleh dipungut apabila negara memang benar – benar membutuhkan dana,
sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Demikianlah pendapat Syeikh Muhammad
Yusuf Qardhawy.
Para
ulama dan para ahli fatwa hukum Islam menekankan agar memperhatikan syarat ini
sejauh mungkin. Sebagian ulama mensyaratkan bolehnya memungut pajak apabila
Baitul Mal benar – benar kosong. Para ulama benar – benar sangat hati – hati
dalam mewajibkan pajak kepada rakyat,
karena khawatir akan membebani rakyat dengan beban yang di luar kemampuannya
dan keserakahan pengelola pajak dan penguasa dalam mencari kekayaan dengan cara
melakukan korupsi hasil pajak.
2.
Pemungutan Pajak yang Adil.
Apabila pajak itu benar-benar
dibutuhkan dan tidak ada sumber lain yang memadai, maka pengutipan pajak, bukan
saja boleh, tapi wajib dengan syara. Tetapi harus dicatat, pembebanan itu harus
adil dan tidak memberatkan. Jangan sampai menimbulkan keluhan dari masyrakat.
Keadilan dalam pemungutan pajak didasarkan kepada pertimbangan ekonomi, sosial
dan kebutuhan yang diperlukan rakyat dan pembangunan.
3. Pajak
hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat, bukan untuk maksiat
dan hawa nafsu.
4.
Persetujuan para ahli/cendikiawan yang berakhlak.
Kepala
negara, wakilnya, gubernur atau
pemerintah daerah tidak boleh bertindak sendiri untuk mewajibkan pajak,
menentukan besarnya, kecuali setelah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan
dari para ahli dan cendikiawan dalam masyarakat.[5]
Sedangkan
mengenai pembayaran zakat, para ulama telah sepakat akan kewajiban zakat dan
bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam.
BAB III
ANALISIS MASALAH
A. Pengertian Zakat dan Pajak
Secara
bahasa zakat berarti tumbuh, bersih, berkembang dan berkah. Seorang yang
membayar zakat karena keimanannya niscaya akan memperoleh kebaikan yang banyak.
Allah berfirman disurat At-Taubah ayat 103, artinya: "Pungutlah zakat dari sebagian
kekayaan mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka". Surat Al-Baqaraah 276,
artinya: "Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah".
Disebutkan dalam hadist Rasulullah saw yang diriwatkan Bukhari dan Muslim, ada
malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore :
Artinya:
"Ya Allah berilah orang berinfak
gantinya". Dan berkata yang lain: "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak kehancuran".
Sedangkan
menurut terminology Syari'ah zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban
atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dan dalam waktu tertentu.
Yang
dimaksud dengan pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara
langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup
biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan
umum.
Baik
pajak maupun zakat, pelaksanaan keduanya haruslah sesuai dengan tujuan dari
ekonomi Islam yang sesungguhnya yaitu untuk:
a. Mewujudkan ekonomi umat yang makmur
dengan melaksanakan produksi barang dan jasa dengan kuantitas dan kualitas yang
cukup guna memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani dalam rangka menumbuhkan
kesejahteraan duniawi dan ukhrawi secara serasi dan seimbang.
b.
Mewujudkan kehidupan ekonomi umat yang adil dan merata
dengan jalan melaksanakan distribusi barang, jasa, kesempatan, kekuasaan dan
pendapatan masyarakat secara jujur, terarah dan selalu meningkatkan keadilan
serta pemerataannya.
c.
Mewujudkan kehidupan ekonomi umat yang serasi, bersatu,
damai dan maju, dalam suasana kekeluargaan sesama umat dengan jalan
menghilangkan nafsu untuk menguasai dan menumpuk harta.
d.
Mewujudkan kehidupan ekonomi umat yang menjamin kemerdekaan,
baik dalam memilih jenis barang dan jasa, memilih sistem jenis dan organisasi
produksi, maupun memilih sistem distribusi sehingga tingkat partisipasi
masyarakat dapat dikerahkan secara maksimal dengan meniadakan penguasaan
berlebihan dari sekelompok masyarakat serta menumbuhkan sikap kebersamaan.
e.
Mewujudkan kehidupan ekonomi yang tidak menimbulakn
kerusakan di bumi, sehingga kelestarian alam dapat dijaga baik alam fisik,
kultural, sosial maupun spiritual.
f.
Mewujudkan kehidupan ekonomi yang mandiri tanpa
ketergantungan kepada kelompok masyarakat lain.[6]
B.
Kewajiban Membayar Zakat dan Pajak
Baik membayar zakat maupun membayar
pajak hukumnya adalah wajib. Aturan mengenai keduanya bisa kita lihat dalam
Al-Qur’an. Namun, jika kita mempertanyakan mana yang harus didahulukan, maka
kita dapat berpikir terbuka terbuka dengan mengandalkan akal dan rasional. Kita
memiliki dua kewajiban yang melekat pada penghasilan kita, yaitu kewajiban
membayar Pajak dan kewajiban mengeluarkan Zakat. Pajak merupakan kewajiban kita
terhadap negara atau Pemerintah, sedangkan Zakat merupakan kewajiban
kita sebagai seorang muslim terhadap Allah SWT. Secara hirarki, bentuk
pertanggungjawaban yang paling tinggi adalah kepada Allah SWT. Dengan
menggunakan logika yang sama, maka yang harus kita tunaikan lebih dahulu adalah
mengeluarkan Zakat dari penghasilan kita, baru setelah itu membayar Pajak ke
negara.
C.
Pendapat para ulama tentang
kewajiban membayar Zakat dan Pajak
Membayar
pajak itu hukumnya wajib, karena memang aturannya pun secara jelas tercantum di
dalam Al-Qur’an. Sedangkan mengenai kewajiban membayar pajak, Menurut Syeikh
Muhammad Yusuf Qardhawy, pajak itu boleh dipungut apabila negara benar-benar
membutuhkan dana, sedangkan sumber lain tidak diperoleh. Pembayaran pajak dapat
juga dibenarkan dalam syari’at Islam karena memiliki beberapa konsideran:
1. Solidaritas
sosial dan tolong menolong sesama muslim dan sesama umat manusia merupakan
kewajiban. Allah berfirman dalam surat Al_maidah ayat 2, artinya: "Dan
olong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran".
2. Sasaran zakat terbatas sedangkan
kebutuhan negara tidak terbatas. Para ahli fiqh tidak boleh mercampur adukkan
harta zakat dengan pajak. Berkata Abu Yusuf: "Tidaklah layak kiranya harta
kharaj (pajak bumi) digabungkan dengan harta zakat, karena harta kharaj adalah harta rampasan untuk
seluruh kamu muslimin, sedangkan harta zakat diperuntukkan bagi mereka yang
disebutkan Allah dalam Al-Qur'an. Para ulama berkata: "Zakat tidak boleh
digunakan untuk membangun jembatan, perbaikan jalan, membuat sungai, pembuatan
masjid, sekolah, pengairan dan bendungan".
3. Kaidah-kaidah
Umum Hukum Syara'. Banyak sekali kaidah yang dapat dipakai untuk melegalisasi
pembayaran pajak, diantaranya Maslahah Mursalah.
4.
Kebutuhan untuk biaya jihad dengan segala
kaitannya.
5. Kerugian
dibayar dengan keuntungan, yaitu ketika umat Islam membayar pajak, dia dapat
merasakan hasil pajak tersebut lewat pembangunan dan keamanan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Zakat menurut bahasa adalah suci dan
subur. Zakat menurut istilah syara’ ialah kadar harta tertentu yang diberikan
kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat.
Pajak
adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang, sehingga dapat
dipaksakan dengan tiada mendapatkan balas jasa secara langsung.
2. Baik zakat maupun pajak
pembayarannya bersifat wajib, dan orang yang sudah membayar zakat wajib pula
membayar pajak, begitupun sebaliknya.
3. para ulama berpendapat bahwa zakat
itu wajib dibayarkan, sedangkan pajak itu boleh diambil apabila kas negara
benar-benar dalama keadaan kosong.
B. SARAN
1. Zakat dan pajak diwajibkan bagi umat
Islam, tetapi kewajiban pajak harus diberikan keringanan, sehingga tidak
memberatkan karena dua kali beban.
2. Masyarakat sebaiknya bersikap lebih
seimbang baik terhadap pembayaran zakat maupun terhadap pembayaran pajak,
karena keduanya merupakan kewajiban.
3. Pemerintah hendaknya lebih
memperhatikan syarat-syarat pemungutan pajak yang telah dirumuskan oleh para
ulama demi terwujudnya keadilan dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Lubis, Ibrahim, 1995, Ekonomi Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Yusuf, Ali Anwar 2005, Afeksi Islam, Bandung: Tafakur.
Undang-Undang:
Undang-Undang Dasar 1945
Sumber lain:
Wikipedia Indonesia/Ensiklopedia
bebas
Ensiklopedia
Islam/Fiqh/Pajak&Zakat
[2] Wikipedia Indonesia
[3] Ensiklopedia Islam/Fiqh/Pajak&Zakat
[4]www.google.com/zakat+pajak
[5] ibid
[6] Ali Anwar Yusuf, 2005, Afeksi
Islam, Bandung: Tafakur, Hal:200-201.
No comments:
Post a Comment